indoposnews.co.id – SETELAH membeli Newcastle United, pangeran yang Anda kenal baik itu akan membuat hat-trick: membangun airline baru, bandara baru, dan kota masa depan baru. Yang terakhir itu Anda sudah tahu: Neom. Yang terbaru adalah ambisinya untuk mengalahkan tiga perusahaan penerbangan sohibnya sendiri: Emirates, Etihad, dan Qatar Airways. Dua yang lainnya lagi ia anggap kecil: Oman Air, dan Gulf Air.
Pangeran Mohammed bin Salman Al Saud pilih jalan paling cepat: mendirikan perusahaan penerbangan baru saja. Riyadh Air. Dari pada membesarkan perusahaan yang sudah berdiri lama: Saudia Airlines. Membenahi Saudia mungkin dianggap ruwet. Sejarahnya sudah begitu panjang. Lebih tua 50 tahun daripada Emirates. Tapi Saudia seperti dilindas habis si pendatang baru. Maka dalam sekejap, Riyadh Air akan dilahirkan langsung besar. Riyadh Air langsung membeli 200 pesawat.
Semua pesawat berbadan lebar: Boeing 787 Dreamliner dan Airbus 350. Dengan memilih tipe pesawat seperti itu tujuannya jelas: menguasai jalur penerbangan internasional. Ia akan menjadi hub untuk penerbangan Asia, Eropa, dan Afrika. Itu berarti Riyadh Air akan berusaha menggeser Emirates milik Uni Emirat Arab. Negara sekecil Dubai mengejutkan: dalam waktu pendek berhasil melahirkan perusahaan penerbangan terbesar dunia.
Baca juga: Superirit
Bahkan UEA begitu kecil dibanding Arab Saudi masih juga punya Etihad: di Abu Dhabi. Etihad tidak sesukses Emirates. Etihad mensponsori Manchester City, sedang Emirates memilih Arsenal. Bagi penumpang Indonesia kelahiran Riyadh Air membuat pilihan makin banyak. Terutama tujuan umrah, ke Eropa atau pantai timur Amerika. Juga untuk terbang ke Afrika dan pantai timur Amerika Latin seperti Rio de Janeiro. Untuk tujuan-tujuan itu, lewat Qatar, Dubai, Abu Dhabi, Oman atau kelak lewat Riyadh.
Lima bandara itu, terletak di sekitar situ-situ juga. Saya pernah ke Amerika lewat Qatar, Dubai, dan Abu Dhabi. Ke Eropa lewat Oman. Tidak ada bedanya. Tinggal lewat Riyadh belum. Dua kali lewat Riyadh hanya untuk ke Madinah. Belakangan saya lebih sering memilih Emirates karena pesawatnya: Airbus 380. Emirates pemilik terbanyak pesawat belum bisa mendarat di Indonesia. Tapi jenis pesawat A380 sudah tidak diproduksi lagi. Riyadh Air memilih Boeing 787 Dreamliner.
Tidak ada yang istimewa. Japan Airlines atau All Nippon Airways sudah lama memilikinya. Mungkin Riyadh Air akan memainkan desain interior. Agar sama-sama 787 tapi beda rasa. Itu terlihat di pengaturan interior A380. Saya pernah naik A380 dari Frankfurt ke Beijing. Milik South China Airlines. Rasanya begitu beda dengan pesawat sejenis milik Emirates. Emirates bisa mendesain A380 begitu mewah. Keunggulan akan dimainkan Riyadh Air yaitu kemegahan bandara Dubai.
Baca juga: Kiamat SVB
Jauh mengalahkan Abu Dhabi, Muscat Oman, maupun Doha Qatar. Maka Riyadh Air tidak akan menggunakan bandara International Riyadh. Yang namanya King Khalid International Airport. Pangeran Mohammed bin Salman membangunkan bandara baru untuk Riyadh Air. Luasnya 57 kilometer persegi (km2). Landasan pesawat jejer enam. Tiga untuk mendarat bersamaan, tiga untuk takeoff bersamaan. Bandara baru itu diberi nama King Salman International Airport.
Rasanya baru di Riyadh nanti ada bandara sampai punya enam runway. Bandara besar Heathrow London hanya punya 2 runway. Bandara John F. Kennedy New York punya empat runway. Bandara Atlanta punya 5 runway. Ups, saya lupa, bandara Chicago O’Hare punya 8 runway. Dan, semua itu kalah dengan bandara Morotai di Maluku Utara: punya 9 runway. Begitu pentingnya Morotai pada masa perang dunia kedua. Juanda Surabaya belum juga bisa membangun runway kedua.
Baca juga: Debu Neom
Akibatnya sampai sekarang belum ada penerbangan malam dari dan ke Juanda. Sampai tiga bulan ke depan waktu malam di Juanda dipergunakan untuk perbaikan landasan. Membangun bandara sekaligus enam landasan di Riyadh apalah sulitnya. Mau 15 landasan pun bisa. Tanah ada. Uang ada. Kemauan Pangeran Mohammed sangat besar. Tidak ada yang meragukan rencana itu tertunda. Siapa CEO Riyadh Air sudah diputuskan: Tony Douglas. Jabatan terakhirnya: CEO Etihad.
Sebelum itu, ia sudah muter-muter berbagai jabatan penerbangan jazirah Arab. Kelihatannya akan saling bunuh dengan sesama tetangga Arab, juga bisa mengurangi pasar penerbangan Asia. Sejak ada Emirates, Qatar, dan Etihad saya belum pernah naik Singapore Airlines. Tentu banyak juga seperti saya. Pangeran Mohammed begitu sadar: Arab Saudi lebih besar dibanding tetangga yang mini-mini itu. Tapi mengapa kalah segala-galanya. Anak muda memang beda. (Dahlan Iskan)