indoposnews.co.id – AKANKAH euforia hukuman sangat ringan bagi justice collaborator (JC) Richard Eliezer menyuburkan Eliezer-Eliezer lain? Ataukah ini hanya akan berhenti di Eliezer –lantaran tidak semua kasus punya unsur drama sebaik Eliezer? Anda sudah tahu: kegembiraan Eliezer kini sudah paripurna: jaksa tidak naik banding. Berarti hukuman sangat ringan, 1,5 tahun, bagi pembunuh Yosua itu sudah punya kekuatan hukum tetap. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat.
Sebenarnya kita lebih membutuhkan JC di perkara lain: korupsi. Akankah JC dalam perkara korupsi bisa menikmati keringanan hukuman begitu dramatis seperti Eliezer? Rasanya istilah JC itu muncul, pada awalnya, justru untuk perkara korupsi. Terutama korupsi berjemaah. Berkomplot. Penegak hukum sering mengalami kesulitan membongkar sebuah jaringan korupsi. Lebih sulit lagi: menemukan dalangnya.
Tanpa pengakuan Eliezer –dan copy CCTV diserahkan Dhania Chairunnisa– harusnya penegak hukum bisa membongkar sendiri: bahwa dalang penembakan terhadap Yosua itu Irjen Pol Ferdy Sambo. Tapi jaringan Jenderal Sambo sangat kuat. Kekuasaannya juga sangat besar. Uangnya juga seperti tinggal cetak sendiri. Peran kesaksian Eliezer adalah melawan kuatnya skenario penyembunyian peran Sambo itu. Dalam perkara korupsi kita pernah mengenal Agus Condro.
Baca juga: Takdir Eliezer
Mungkin Agus-lah JC pertama yang kita kenal. Dan diakui di persidangan. Berkat Agus maka korupsi di pemilihan deputy gubernur Bank Indonesia terbongkar. Lalu terbongkar juga soal 41 cek-perjalanan diterima 41 anggota DPR. PPATK kemudian menelusuri, memperkuat kesaksian Agus Condro itu. Tapi pemanfaatan keterangan Agus tidak maksimal. Anda sudah tahu: korupsi tersebut tidak dibongkar tuntas. Lalu kita juga mengenal JC berikutnya: Mindo Rosalina Manulang.
Yang berkat perannyi maka tokoh politik dan selebriti seperti Angelina Sondakh terseret sangat dalam ke penjara. Pun sampai Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Agus Condro politisi PDI-Perjuangan. Agus kali pertama mengungkap kasus korupsi tersebut. Jaksa menuntutnya 1 tahun 6 bulan. Hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun 3 bulan. Agus mengatakan menerima hukuman itu. “Kalau saya tidak dihukum malah saya tidak bisa tidur,” katanya.
Mengapa? “Ibu tua miskin di Banyumas itu saja dihukum. Padahal, dia hanya mencuri buah karena lapar,” tambahnya. Tapi Agus kecewa karena hukuman baginya hampir sama dengan hukuman terdakwa lain. “Apakah kelak ada orang mau menjadi JC bidang korupsi?” katanya. Harusnya JC perkara korupsi lebih didorong, dibela, dan diberi semangat. Waktu itu nyaris tidak ada yang protes atas besarnya tuntutan jaksa maupun putusan hakim.
Baca juga: Sambo.., Telan Motif
Hanya lembaga perlindungan saksi yang mempersoalkan: kenapa keringanannya tidak berarti. Sedang Mindo Rosalina dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan. Rosalina membongkar catatan begitu besar dan luas. Tanpa Mindo betapa sulit penegak hukum menyeret begitu banyak tersangka. Sejak itu kita tidak mendengar lagi JC bidang korupsi. Oh… Ada. Satu lagi. Bowo Sidiq Pangarso. Anggota DPR. Komisi VI. Dari Golkar. Ia dijatuhi hukuman 5 tahun.
Untuk korupsi berhubungan dengan Humpuss Rp2,5 miliar. Ia merasa sebagai JC seperti tidak ada artinya. Ia menerima suap dalam kaitan dengan upaya mendapatkan angkutan pupuk dari PT Pupuk Indonesia tahun 2015. Ada lagi JC, tapi terkait narkoba. Namanya Thomas Claudius Ali Junaidi. Umur 38 tahun. Dari Maumere, Flores, NTT. Jaksa menuntut hukuman 7 tahun penjara. Hakim memutuskan 5 tahun penjara. Ia protes keras.
Ia membantu polisi mengungkapkan seluruh jaringan narkoba di sana. Polisi menjanjikan akan dibebaskan. Ternyata dihukum 5 tahun. Akhirnya proses pengadilan lebih tinggi, Thomas dibebaskan. Dari situ terlihat belum ada jaminan JC akan mendapat perlakuan khusus. Tergantung situasi dan hakimnya. Juga jaksanya. Perjuangan publik terlihat nyata, dan bersemangat dalam kasus Eliezer. Tapi untuk membuat orang berani menjadi JC bidang korupsi masih belum terlihat. Euforia mendukung JC Eliezer siapa tahu bisa merembet ke perjuangan mengatasi korupsi. (DAHLAH ISKAN)