indoposnews – KITA masih ingat rasa susahnya saat PPKM –atau apa pun istilah sebelumnya. Itulah yang kini masih dirasakan oleh penduduk Shanghai –dalam skala yang lebih ketat.
Sudah dua minggu mereka mengalami ”penderitaan” PPKM di sana. Pernah sehari dilonggarkan. Rabu kemarin. Senang. Meski terbatas di satu distrik. Pasti akan dilonggarkan lebih luas lagi.
Ternyata, besoknya, ditutup lagi. Cepat-cepat. Itu gara-gara ada seribuan kasus baru Omicron di satu distrik.
Saya, yang begitu sering ke Shanghai, bisa membayangkan alangkah sulitnya me-lockdown kota berpenduduk 25 juta jiwa itu.
Tapi itu terjadi. Kenyataan. Secara ketat.
Berarti sudah dua minggu penduduk kota besar itu tinggal di dunia kecil: sebatas apartemen mereka.
Di sana lockdown tidak main-main. Aturannya sangat keras.
Wartawan asing yang banyak tinggal di Shanghai tidak terkecuali. Wartawan ekonomi seperti dari Nikkei Jepang atau Wall Street Journal Amerika lebih senang berbasis di Shanghai. Daripada di Beijing.
Shanghai adalah ”ibu kota” ekonomi bagi Tiongkok. Wartawan asing juga harus ikut peraturan. Beberapa wartawan pun menulis pengalaman pribadi –yang jadi sumber penulisan ini.
Selama dua minggu itu mereka harus hanya tinggal di dalam rumah. ”Rumah” di ”Shanghai masa kini” umumnya kamar di sebuah apartemen yang menjulang tinggi.
Pintu rumah harus dikunci sendiri. Pintu keluar gedung apartemen dikunci oleh petugas. Pakai kunci rantai. Rantainya dimasukkan ke selang plastik –seperti yang biasa untuk mengunci sepeda.