indoposnews.co.id – ”LIFE begins at 70,” ujar Syech Panji Gumilang, pimpinan tertinggi Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jabar. Syech mengucapkan itu kepada wartawan Radar Indramayu Adun Sastra yang menemuinya Selasa sore lalu. Adun tinggal di pantai antara Cirebon dan Indramayu, membuka pertemuan itu dengan pertanyaan pembuka: apakah Syech rajin olahraga. Kok di usia 76 masih kelihatan gagah, sehat, dan gesit. Apalagi postur tubuhnya tinggi besar.
Syech Panji ternyata rajin olahraga. Jalan kaki. Sesekali bersepeda. Kompleks pondok 200 hektare –dari tanahnya 1.200 hektare– tentu ideal untuk olahraga jalan kaki. Sambil inspeksi ke segala sudut pesantren. “Hidup itu sebenarnya dimulai dari umur 70.” Itu kalimat penyemangat bagi orang lanjut usia. Bagi Syech Panji, itu bukan hanya kalimat penghibur. Kelihatannya Syech Panji benar-benar memulai sesuatu yang besar di umur 76 tahun: membangun galangan kapal.
Wartawan Adun diterima Syech Panji di galangan kapal itu. Di pantai utara Indramayu. Yakni di Pantai Eretan Kulon. Tidak jauh dari jalan raya Pantura. Di situ alat-alat berat lagi bekerja. Tahap pertama akan membangun 12 kapal. Yakni kapal nelayan ukuran besar. Dari kayu. Kawasan itu kelihatannya akan terus dikembangkan menjadi galangan besar. Orang setempat mengenal lokasi itu sebagai Pantai Darussalam. Itu karena pernah ada pesantren Darussalam di dekat situ.
Baca juga: Zaytun Sampang
Lalu ada masalah keluarga. Tidak berlanjut. Adun lebih senang diterima di galangan kapal itu. Lebih dekat rumah. Kalau harus ke pesantren Al-Zaytun perlu perjalanan 2 jam. Rupanya lokasi itu di pertengahan antara Al-Zaytun, dan rumah Adun. Begitu banyak kalimat ”penghibur” bagi orang berumur 70-an tahun. Anda bisa lihat di Google. Misalnya: ”menjadi 70 itu hebat”, ”Umur 70 itu luar biasa”, ”Umur 70 itu sama dengan umur 50 baru”, ”Begitu umur 70 bisa melakukan apa saja tanpa beban”.
Dan Syech Panji masih bisa mulai membangun galangan kapal: PT Pelabuhan Samudra Biru. Dari nol. Galangan kapal, saat ini, bisnis terlaris: antre untuk bisa membeli kapal baru, sangat panjang. Tentu banyak pertanyaan bernada curiga: dari mana Syech Panji, yang ilmu agamanya begitu tinggi, bisa mendapat uang begitu banyak. Bisa membeli tanah 1.200 hektare, membangun pesantren seluas 200 hektare, dengan bangunan-bangunan begitu mentereng.
Jarang orang menghargai kerja keras, kesungguhan, dan kegigihan. Pertanyaan sama juga menimpa KH Asep Saifudin Chalim, Surabaya. Yang dalam waktu pendek bisa membangun pesantren Amanatul Ummah di Pacet begitu besar. Tanahnya meluas begitu cepat: kini sudah sekitar 100 hektare. Sudah bisa bikin perguruan tinggi. Bahkan sudah membuka S-2 dan S-3. Orang tidak mau tahu bahwa tiap malam Kiai Asep hanya bisa tidur 2 atau 3 jam.
Baca juga: Mao Junior
Al-Zaytun kini memiliki sekitar 15 ribu santri. Uang sekolahnya USD3 ribu. Yakni untuk sekolah di Al-Zaytun 6 tahun. Sejak tamat SD sampai lulus SMA. Seperti juga Gontor, sistem disiplin santri Al-Zaytun sangat tinggi. Termasuk perlakuan terhadap tamu. Penguasaan bahasa Arab dan Inggris juga dipentingkan. Lulus ujian nasional 100 persen. “Saya masih ingin santri harus menguasai bahasa Mandarin. Tapi belum ada guru-gurunya,” ujar Syech Panji.
“Saya harus kirim dulu orang-orang untuk belajar di sana (Tiongkok),” katanya. Kenapa pesantren itu diberi nama Al-Zaytun? “Spontan saja,” jawabnya. Waktu itu, tahun 1993, yayasan yang ia dirikan mengajukan izin mendirikan pesantren. Ketika Syech lagi di Gresik, ziarah ke makam ayahandanya di Dukun, ada telepon dari kantor Kementerian Agama Indramayu. “Kok di surat permohonan belum mencantumkan nama pesantren,” ujar Syech menirukan telepon yang diterima.
Kebetulan Syech lagi membaca bagian Quran yang disebut surat At-Tin. Semula, di sambungan telepon itu, Syech ingin memberi nama pesantrennya itu At-Tin. Tapi diingatkan oleh penelpon. Nama At-Tin sudah dipakai oleh Ibu Tien, istri Presiden Soeharto. Yakni untuk nama masjid di Taman Mini Indonesia Indah. “Ya sudah, Zaytun saja,” jawab Syech kala itu. Buah Tin dan buah Zaytun memang disebut di Quran di ayat yang sama. Disebut beriringan.
Baca juga: Lebaran Prabowo
Bahkan dalam konteks sebagai sumpah Tuhan: “Demi Tin dan Zaytun”. Syech Panji memang bakat dagang. Sejak kecil. Ketika masih di sekolah dasar di Dukun pun, ia sudah menjalankan tugas jualan hasil bumi dan ternak. Ayahnya memang kepala desa tapi juga petani. Ia sering ke pasar menjual hasil pertanian dan ternak, seperti telur. “Zaman saya kecil jual belinya masih lebih banyak pakai sistem barter,” katanya. Sebagai anak dari keluarga Madura kerja seperti itu sudah biasa.
Istri Panji Sunda. Dari Banten. Banten Sunda: Umi Farida Al-Widad. Umi ini berdiri di barisan depan waktu salat Idulfitri yang lalu. Yang bikin heboh itu. Sebenarnya, hari itu banyak juga wanita ikut salat. Tapi di lantai bawah. Terpisah dari laki-laki. Hanya 1 Umi ada di lantai bersama laki-laki itu. Praktik baru seperti itu juga bukan sebuah kebiasaan di Al-Zaytun. Sehari-hari praktik salat berjamaahnya tidak berbeda. Pun ketika salat Jumat.
Justru ketika salat sunah (bukan keharusan) Idulfitri kemarin mengundang ribut. Dr Nurcholish Madjid juga bikin ribut. Yakni ketika ia menjadi tokoh pembaharuan pemikiran Islam. Ributnya bukan main. Kala itu. Sekarang kalau ada orang bicara seperti Cak Nur tidak ada lagi yang kaget. Syech Panji melakukan pembaharuan tidak lagi di pemikiran, tapi dalam praktik. Ribut sekali. Entah 30 tahun yang akan datang. (Dahlan Iskan)