indoposnews.co.id – Perubahan era industri menuntut banyak hal dalam metode pembelajaran. Maklum, setiap zaman, masyarakat memiliki metode belajar beragam. Bergantung dari kebutuhan pada masa tersebut.
Pada era Industri 1.0 misalnya, metode pendidikan lebih menekankan pada unsur kemandirian, bukan lembaga atau institusi resmi. Masyarakat saat itu mengumpulkan makanan, dan berpindah-pindah tempat (nomaden) sehingga mereka belajar sendiri tentang bagaimana cara menggunakan panah, berburu, pakai tombak, dan sebagainya.
Baca juga: OJK Modernisasi Dua Regulasi IKNB, Cek Ini Tujuannya
Barulah saat memasuki era 2.0, masyarakat mulai belajar tentang beternak, dan budidaya menggantikan berburu. Di sini, mulai dikenal konsep baca tulis meski bukan sebuah keharusan. Pada masa ini, sudah mulai muncul istilah karyawan, dan pemberi pekerjaan.
Uraian itu dibeber Executive Director Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji saat menjadi narasumber webinar Utilisasi Teknologi Sebagai Pendukung Karya Tulis, Feedback dan Penilaian yang diselenggarakan oleh perusahaan teknologi integritas akademik Turnitin baru-baru ini.
Baca juga: Perebutan Kursi DK OJK Memanas, Staf Kantor Presiden, Wamenlu, dan Deputi KPK Lolos Seleksi
Era 3.0 merupakan era manufaktur menuntut kemampuan membaca, menulis, dan berhitung karena masyarakat sudah mulai bekerja di pabrik-pabrik. ”Saat ini, masuk Industri 4.0 yaitu era informasi. Kalau era sebelumnya, orang punya formula menciptakan produk tertentu yang akan menguasai (industri). Pada masa itu, kerahasiaan sangt penting. Saat ini, informasi begitu terbuka sehingga kita bisa mengakses dengan mudah,” tegasnya.
Era Industri 5.0, tutur Indra, masyarakat akan bersinggungan dengan teknologi sehingga akan banyak pekerjaan-pekerjaan tidak butuh tenaga manusia. Terjadi transisi di mana kebutuhan fisik makin berkurang, sedang kebutuhan kecerdasan atau kemampuan berpikir makin meningkat. McKinsey Global Institute memprediksi pada 2030 ada sekitar 400-800 juta pekerjaan manusia akan digantikan mesin atau robot.
Baca juga: Kerek Performa, Digital Mediatama Bentuk Anak Usaha Baru
”Dulu kita dituntut menghafal, memahami, dan mengaplikasi informasi dalam situasi yang dikenal. Sekarang kita dituntut berada pada level mencipta, yaitu mengeluarkan ide, produk baru, dan cara pandang baru.”
Senada dengan itu, Mustafa Guvercin, School Director Sampoerna Academy mengatakan kemampuan menciptakan sesuatu yang baru tidak bisa digantikan mesin pintar. Kompetensi itu, hanya milik manusia. Nah, untuk membentuk sumer daya manusia (SDM) berkarakter seperti ini butuh metode pendidikan khusus.
Baca juga: Teken Pinjam Pakai Aset, Yelooo Integra Datanet Lakukan Ini
”Nalar berpikir kritis dilatih dalam materi-materi tentang sains, teknologi, rekayasa teknik, seni, dan matematika. Cabang-cabang ilmu ini mendorong seseorang memiliki pola pikir solutif, dan inovatif,” ungkapnya.
STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) bukan metode baru, namun hanya sedikit lembaga pendidikan seluruh dunia menerapkan konsep ini dalam kurikulum belajar. Sampoerna Academy, pelopor pendidikan STEAM di Indonesia, saat ini memiliki cabang di berbagai kota Indonesia.
Baca juga: Surat Utang Anak Usaha Salim Group, Tamaris Gondol Peringkat idAAA
”Kami melihat para orang tua ternyata sudah mulai menyadari betapa pentingnya menyiapkan anak-anak di masa depan dalam menghadapi Industri 4.0. Bahkan besar kemungkinan anak-anak ini akan hidup di era Industri 5.0 yang nantinya akan banyak digantikan mesin, dan robot. Dengan konsep STEAM, kami berkeyakinan mereka akan menjadi SDM unggulan di masa depan karena kemampuan berpikir, dan berinovasinya.”
Membentuk sumber daya high qualified mutlak dibutuhkan karena di masa depan, para pencari kerja tidak hanya bersaing dengan manusia tapi juga dengan mesin, dan komputer. Pekerjaan seperti merancang strategi, memahami psikologi konsumen, membaca tren pasar tentu tidak bisa diserahkan dengan algoritma robot. Dibutuhkan sentuhan, dan pikiran orisinal manusia.
Baca juga: Tahun Ini, Bank BJB Patok KPR Sejahtera FLPP 1.000 Unit
”Kami mendorong siswa untuk berpikir kritis sehingga mampu melihat hal-hal tidak bisa dilihat orang lain sejak dini. Memandang masalah bukan dari apa yang tampak, tapi juga dari apa yang tidak tampak. Kompetensi seperti ini sangat dibutuhkan di era industri berbasis teknologi.”
Ia menambahkan rasionalitas tidak bisa digantikan mesin pintar. Manusia tetap lebih unggul di sisi ini. ”Namun, rasionalitas harus dilatih, dan dikembangkan. Pendidikan berbasis STEAM jawaban untuk masalah ini,” tutupnya. (abg)