indoposnews.co.id – PUN ketika di Tsinghua. Buka puasa dengan sate istimewa di restoran Xinjiang. Di dekat kampus dengan luas hampir 500 hektare (he). Di pinggir utara kota Beijing. “Boleh berapa orang?” tanya Lutfiya, mahasiswi S2 asal Lombok. “Berapa saja,” jawab saya. Rupanya dua kamar bisa digabung di resto itu hanya cukup untuk 20 orang. Maka hanya pendaftar pertama bisa gabung. Cepet-cepetan. “Saya tidak dapat tempat,” ujar Farhan asal Medan, ayahnya tinggal di Lombok.
Ia ambil jurusan energi dalam kaitannya dengan listrik di Tsinghua. Saya bertemu Farhan sehari sebelumnya di acara buka puasa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dari 20 orang itu, muslim hanya dua orang. Dua-duanya wanita. Berjilbab semua. Selebihnya Kristen dan Buddha. “Bapak saya pernah bertemu Pak Dahlan di acara Tri Dharma,” ujar Benny Wijaya asal Palembang. Benny masuk SMA di Singapura. Lalu S1 sudah di Tsinghua. Pun S2. Dan kini menempuh S3.
Semua bidang otomotif. Saya memanggil Benny dengan panggilan Xiao Huang. Dik Huang. Marganya Huang. Masih mempertahankan bujangan tanpa pacar. Maka Xiao Huang jadi rebutan: di-bully teman-temannya. Ia cuek. Terus tersenyum. Xiao Huang berkeinginan untuk bekerja dulu setelah menjadi doktor otomotif. Di luar negeri. Setidaknya dua tahun. Setelah itu ia ingin bisnis. Ingin merintis sesuatu yang baru untuk Indonesia. Selama makan malam kami ngobrol. Dialog.
Baca juga: Lebaran Separo Babak
Banyak pertanyaan. Dua mahasiswa asal Surabaya. Empat dari Tangerang. Dari Purwokerto. Dari Pontianak. Pekanbaru. Dari Kalsel. Kami lebih banyak ngobrol dalam bahasa Mandarin. Mayoritas 20 orang itu Tionghoa. Sudah punya modal bahasa Mandarin sebelum ke Tsinghua. Bahkan dua orang sekolah SMA-nyi di Hangzhou. Kini ada 75 orang mahasiswa Indonesia di Tsinghua. Tiap tahun jumlahnya terus meningkat. Ini menandakan kepintaran anak-anak Indonesia kian diakui.
Tsinghua universitas ranking 14 dunia. Pejabat tinggi Tiongkok umumnya lulusan Tsinghua. “Anda-Anda ini orang pilihan. Banyak mahasiswa Tiongkok hanya bisa mimpi masuk Tsinghua,” ujar teman saya dari Beijing yang saya ajak buka puasa. Mereka tepuk tangan. Saya bangga melihat antusiasme mereka untuk menjadi alumni Tsinghua. Saya tiba satu jam lebih awal dari jadwal buka puasa. Saya ingin diajak keliling kampus. Saya begitu ingin melihat kebesaran nama universitas ini.
Ini kali pertama saya ke Tsinghua. “Mau naik sepeda atau motor listrik?” tanya Lutfiya. “Jalan kaki saja,” jawab saya. “Kuat?” “Kampus ini kan datar. Dua hari lalu saya naik ke puncak Huangshan,” jawab saya. Lutfiya sendiri punya sepeda. Dia beli sepeda setelah satu minggu tiba di Tsinghua. Kali pertama ke Beijing dulu, 1986, saya juga beli sepeda. Tahun itu nyaris belum ada mobil di Beijing. Jalan-jalan penuh sepeda. Lutfiya beli sepeda karena kampus ini besar sekali.
Baca juga: Safari Aladin
Kalau berjalan kaki bisa-bisa tidak bisa mengejar pelajaran di kelas yang berbeda. Tentu saya diajak ke gerbang tua Tsinghua. Yang Anda sudah tahu: banyak orang berfoto di situ. Tulisan di gerbangnya seperti bukan gerbang universitas: 清华园。Taman Qing Hua. Dulunya lokasi ini taman bunga istana kekaisaran dinasti Qing. Diubah jadi universitas pada 1911. Universitas ini dibangun Amerika sebagai penebusan kesalahan negara-negara Barat. Sebelum.
Itu mereka telah menjarah harta kerajaan kuno tak ternilai harganya. Karena itu, bentuk gedung-gedung kampus ini sangat Amerika. Penempatan gedungnya mirip seperti universitas besar Amerika. Tamannya luas. Indah. Ada bukit-bukit kecil kelihatan bukit buatan. Ada danau. Ada jogging track. Air mancur. Plaza. Pohon-pohon besar. Berada dalam kampus Tsinghua tak beda dengan Stamford atau Harvard, dan MIT. Apalagi kesejukan udara bulan April membuat musim semi berbunga dan berdaun.
Anda sudah tahu: ada perang opium medio 1800-an. Kekaisaran Tiongkok kalah. Barat boleh menguasai kawasan mana pun, dan melakukan apa pun. Maka tanah Tiongkok dikapling-kapling. Tianjin sampai Beijing dan sekitarnya dikuasai Amerika. Shandong dan sekitarnya Jerman. Guangzhou dan sekitarnya Prancis. Ujian dan sekitarnya Jepang. Harbin sampai Dakian untuk Rusia. Waktu itu Jepang dan Rusia bergabung di aliansi Barat. Inggris dapat wilayah… saya lupa.
Baca juga: Safari Nanjing
Di zaman inilah terjadi apa yang dalam literatur disebut zaman perampokan dan penjarahan harta termahal Tiongkok: emas, berlian, mahkota raja, benda-benda kuno… Zaman itu juga menimbulkan kebencian meluas di masyarakat. Apalagi taman-taman besar diberi pengumuman sangat merendahkan harga diri mereka. Anjing dan Tionghoa dilarang masuk. Puncak kebencian terjadi pada 1898. Pada Oktober mulai dingin. Ketika kelenteng Jade Emperor, kelenteng kaisar, diubah menjadi gereja Katolik.
Pemberontakan besar-besaran terjadi. Kekuatan Barat bergabung menumpas pemberontakan ini. Puluhan ribu pemberontak, anak-anak muda dibunuh. Kelak ketika terjadi perundingan perdamaian (1901) Tiongkok menuntut ganti rugi atas hilangnya harta karun kuno. Amerika setuju mengalokasikan sejumlah uang tapi bukan uang kontan. Uang itu untuk beasiswa sekolah di Amerika. Agar penerima bea siswa bisa mengikuti pelajaran Amerika dibangunkan lembaga pendidikan pra-universitas.
Baca juga: Menuju Tiongkok
Di taman Istana Kaisar Qing itu. Yang membangun Amerika. Pengurusnya Amerika. Dosennya Amerika. Di kota Qingdao, Shandong saya lihat banyak gedung peninggalan Jerman. Bahkan bir terbaik Tiongkok diproduksi di Qingdao. Namanya juga Qingdao Beer. Aslinya: Becks Beer. Bir terkenal Jerman. Ini mirip Belanda meninggalkan Bir Bintang di Indonesia aslinya Anda sudah tahu. Di kota Harbin, di pojok Timur Laut Tiongkok, saya lihat begitu kuat peninggalan Rusia.
Bahkan sebagian wilayah Rusia dulunya bagian hasil penjajahan. Sejarah perang opium, pengkaplingan wilayah dan persoalan harga diri itu ikut mewarnai perjalanan Tiongkok. Kian banyak mahasiswa kita belajar di kampus penuh sejarah ini. Saya juga diajak ke salah satu perpustakaan Tsinghua. Penuh mahasiswa baca buku. Atau menghadap laptop dengan Wi-Fi gratis. Saya diajak berfoto depan perpustakaan. Rupanya ada nama seseorang diabadikan di gedung itu: Mochtar Riyadi. (DAHLAN ISKAN)