indoposnews.co.id – Covid-19 selesai, profesor senior harus turun gunung. “Hari ini saya operasi bedah jantung ke-3 sejak diminta turun gunung pada 11 Januari lalu,” ujar Prof Dr Puruhito, kemarin. November mendatang usia Prof Ito sapaan keren Puruhito genap 80 tahun. Berarti tiap dua hari, Prof Ito turun gunung. “Jadwal saya ke depan tiap dua atau tiga hari operasi,” katanya. Operasi yang ditugaskan kepada Prof Ito punya nilai pembelajaran.
Kalau operasi biasa-biasa saja tidak perlu beliau. Ada pelajaran tambahan dari operasi kemarin: benang yang diperlukan tidak ada. Yakni benang ukuran 4.0. Yang ada ukuran lebih kecil, 5.0. Lalu apa yang harus dilakukan: harus lebih hati-hati. Bagaimana cara hati-hati: calon dokter bedah jantung dapat penjelasan dari Prof Ito. Di operasi kedua pasca Covid, ada pelajaran dadakan juga: setelah jantung dibuka, ditemukan juga tumor di dalamnya.
Meski itu tidak ada dalam rencana operasi, tumor itu harus dibuang: bagaimana membuang tumornya. Kalau sebatas tidak ada benang ukuran tertentu bisa dicarikan jalan keluar. Tidak perlu menunda operasi. Tapi kalau menjelang operasi tidak tersedia obat, ya harus ditunda. Bertambahlah persoalan reformasi kesehatan: jumlah dokter spesialis, ketersediaan obat dan peralatan. Untuk obat dan pendukung diperlukan operasi jantung, misalnya, 90 persen impor.
Baca juga: Ceceran Lead
Itemnya begitu banyak. Pelayanan kepada pasien tidak hanya soal ketersediaan dokter spesialis tapi juga obat. Lalu soal alat. Salah satu penyebab mengapa spesialis berkumpul di kota besar adalah kelengkapan alat. Dokter itu tidak hanya perlu gaji besar. Tapi juga kepuasan dalam mempraktikkan ilmunya. Saya jadi ingat dokter Boyke, ahli ginjal. Ketika diminta pindah ke kota kecil, ia tanyakan tidak hanya gaji. Tapi apakah kota itu mau membelikan alat yang ia inginkan.
Yang di kota sebesar Surabaya pun, saat itu, belum punya. Begitu Gubernur (waktu itu) Awang Farouk membelikan alatnya, Boyke langsung pindah ke Samarinda. Orang Surabaya seperti istri saya harus operasi ke Samarinda. Untung bisa sekalian pulang kampung. Jadi Menkes Budi Sadikin harus menyediakan begitu banyak alat untuk begitu banyak spesialis di begitu banyak kota kecil. Dan Menkes sudah menyanggupinya.
Rupanya kalangan dokter sudah makin kompak: mendukung reformasi kesehatan. Orang seperti Prof Dr Ario Jatmiko (72 tahun) ahli kanker senior itu, menulis dukungan sangat rinci. Termasuk soal memperbanyak spesialis lewat hospital based. Bahkan lebih hebat lagi: spesialis bedah jangan sampai mengusir bedah umum. Misalnya untuk operasi payudara. Bisa dilakukan dokter bedah umum yang cukup dilatih secara khusus.
Baca juga: Jenderal Master
Maka, kata Prof Miko, harus dibedakan antara pendidikan dan kursus. Pendidikan itu untuk urusan karakter. Termasuk pendidikan spesialis. Kursus untuk meningkatkan keterampilan. Prof Dr Siti Fadilah pun memberikan dukungan yang rinci. Mantan menteri kesehatan yang kritis itu punya mantera: kekurangan dokter spesialis adalah nyata, kekhawatiran terjadi kelebihan dokter tidak harus dikhawatirkan.
Bahkan Siti Fadilah langsung saja: setujui RUU Kesehatan. Kekurangan dokter spesialis itu akan teratasi. Bagaimana dengan dokter lulusan luar negeri? Orang seperti Prof Puruhito dan Ario Jatmiko tidak punya problem apa-apa. Keduanya pulang dari luar negeri sebelum aturan adaptasi dan ujian ada. Dan lagi keduanya adalah perintis di bidang masing-masing. Covid sudah selesai. Selamat turun gunung ramai-ramai. (Dahlan Iskan)