indoposnews.co.id – OLAHRAGA rupanya juga dipentingkan di pesantren Al Zaytun: punya enam lapangan sepak bola. Salah satunya pakai tribun: khusus pertandingan. Pertandingannya bisa malam hari: punya fasilitas penerangan mirip stadion sepak bola pada umumnya. Masih ada lima lapangan sepak bola lainnya: untuk latihan. Lapangan basketnya banyak. Al Zaytun selalu ikut kompetisi basket DBL. Masuk zona IX Jawa Barat. Semua pemain wanitanya berjilbab.
Suporternya diangkut dengan banyak bus ke Bandung. Kompetisi basket terbesar Indonesia itu dipimpin anak menantunya Pak Iskan. Maka DBL biasa menempatkan Al Zaytun di pertandingan pembukaan. Bertanding lawan tim SMA Katolik Santo Aloysius. Selalu seru. Masing-masing pasti mengerahkan suporter dalam jumlah besar. Selalu kalah. Mendiang Rusdy Bahalwan, pelatih legendaris Persebaya itu, pernah melatih di sana. Kala saya harus berolahraga di sana disambut baik.
Bahkan hampir seribu santri, dan ustad ikut senam dansa. Pagi itu, senam dansa kami gelar di depan stadion Al Zaytun bertribun. Saya menolak ditawari senam di atas lapangan rumput. Saya tidak mau merusak rumput lapangan bola. Kalau itu saya lakukan tim sepak bola Persebaya bisa dikutuk rumput. Padahal, tanpa dikutuk belum bisa jadi juara. Di halaman depan stadion itu kami senam dansa gaya Disway. Yang di sekelilingnya pepohonan jati.
Baca juga: Al-Zaytun Mandiri
Yang dari sini bisa melihat menara masjid menjulang tinggi. Di kejauhan sana. Menara itu seperti menyembul dari dalam hutan jati. Senam dansanya seru sekali. Tiga lagu pertama lagu mandarin. Maka lagu-lagu mandarin bergema keras di pesantren itu. Disertai gerakan pemanasan. Di lagu berikutnya tiba-tiba sorak-sorai bergemuruh. Saya bingung mengapa para santri itu menjadi begitu antusias. Bahkan jogetnya menjadi lebih seru. “Ada apa?” bisik saya ke Nicky pelatih di atas panggung.
“Ini lagu kesukaan anak SMA, terutama pesantren,” jawab Nicky yang memang masih belia dan jomblo itu. “Judul lagunya apa?” bisik saya lagi. Saya hafal gerak senamnya tapi banyak tidak tahu judul lagu. “Aisyah,” jawab Nicky. Juga ketika lagu India sedang dimainkan. Banyak yang tiba-tiba joget sendiri-sendiri –tidak mau lagi ikut gerakan saya dan Nicky di panggung. Yang seperti itu menular di lagu-lagu dangdut setelahnya. Atau di lagu rock and roll. Kian banyak joget sendiri-sendiri.
Saya seperti senam berdua saja bersama Nicky di panggung. Selebihnya banyak juga hanya menonton dansa swasta itu –karena sudah kelelahan hampir satu jam nonstop berjoget. Selama di panggung sesekali saya melirik ke puncak menara masjid itu. Menara itu memang tinggi sekali: 210 meter. Saat menuju stadion ini saya minta dilewatkan proyek masjid baru itu. Bangunannya saja 1 hektare. Enam tingkat. Saya tidak masuk ke dalamnya. Masih sedang penyelesaian.
Baca juga: Kapal Al-Zaytun
Tapi sosoknya sudah jelas: gagah sekali. Tapak menaranya sendiri sekitar 12×12 meter. Bagian bawahnya berbentuk gedung lima lantai. Untuk menuju puncak, dalam menara itu dipasangi lift. Di puncaknya itu akan dibuka restoran. Bisa berputar. Seperti puncak menara berbagai negara. Lain kali saya mau dua malam di Al Zaytun. Sambil mengembalikan jas. Saya belum sempat melihat lahan pertanian dan peternakannya. Ratusan hektare.
Yang menggarap sawah itu petani sekitar. Dengan sistem yar-nen. Al Zaytun yang menyediakan biaya penanaman. Sejak dari traktor sampai pupuk. Dengan demikian mutu bisa dijaga. Benih harus unggul. Komposisi pupuk harus proporsional. Semua biaya itu dibayar kembali dari hasil panen. Selebihnya dibagi dua: penggarap dan pemilik lahan. Sebanyak 2.200 petani yang bekerja dengan cara itu. Mereka tergabung dalam koperasi yang dibentuk Al Zaytun:
Perkumpulan Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia (P3KPI). Dengan dilewatkan lembaga petani, maka sistem yar nen di Al Zaytun terkontrol penuh. Toh semua hasil panen dibeli oleh Al Zaytun sendiri. Itu beda dengan sistem yar nen pada umumnya. Petani merdeka menjual padi mereka. Hanya petani yang benar-benar jujur yang mau menyisihkan hasil penjualannya: untuk bayar kembali pupuk dan benih. Sistem yar nen bisa berjalan baik di Al Zaytun.
Baca juga: Al-Zaytun NII?
Dalam skala sekitar 500 hektare. Syekh Panji Gumilang, pendiri Al Zaytun, lantas membayangkan: mestinya negara bisa swasembada beras dengan sistem ini. Beda dikit. Al Zaytun adalah pemilik lahan. Negara tidak harus memiliki lahan. Negara, katanya, menyewa lahan pertanian dari penduduk. Luasnya disesuaikan dengan beras yang diperlukan untuk swasembada. Dibagi tiap provinsi. Tiap kabupaten. Maka akan jelas berapa luas sawah diperlukan untuk seluruh penduduk di kabupaten itu.
Kalau 8.000 penduduk Al Zaytun bisa swasembada dengan 300 hektare, maka berapa luas yang harus disewa di satu kabupaten. Semua bisa dihitung. Syekh Panji pernah menghitung. Ia sudah mendapat data luas sawah di Indonesia. “Dengan separonya saja Indonesia sudah bisa swasembada,” ujar Syekh Panji. Kalau negara bisa menyewa sawah petani, katanya, betapa besar uang negara yang mengalir ke rakyat bawah. Ekonomi di bawah akan bergairah. Uang sewa itu dikembalikan ke negara setelah panen.
Baca juga: Zaytun Sampang
Secara mencicil. Setiap tahun. Daripada, misalnya –ini bukan kata-kata Syekh Panji– uang Rp8 triliun+19 triliun+16 triliun+sekian triliun lagi menguap di lapisan atas. Termasuk di atas tower. “Ini dulu saya impikan sebagai menteri agama. Ulama plus. Duniawiyah ukhrowiyah,” ujar Prof Munawir Sjadzali kala itu. Tahun 2001 Munawir ke Al Zaytun. Sudah tidak menjabat menteri agama. Kalimat Munawir itu diabadikan di buku ditulis wartawan senior Robin Simanullang tentang Al Zaytun.
Suryadharma Ali juga pernah ke Al Zaytun. Masih dalam kedudukannya sebagai menteri agama. Tahun 2011. Ia didesak media dengan pertanyaan seperti ramai disorotkan kepada Al Zaytun. Wartawan masih juga tidak puas. Suryadharma dianggap seperti tidak peduli dengan sorotan masyarakat kepada Al Zaytun. Dipepet seperti itu Suryadharma Ali sampai kesal. “Apakah Anda ingin saya harus mengatakan Al Zaytun itu NII?” katanya. Mungkin saya juga akan bersikap begitu. (Dahlan Iskan)