indoposnews.co.id – Bank Mayapada (MAYA) kembali menjadi sorotan akibat kasus dengan seorang pengusaha Ted Sioeng. Beberapa pengamat ekonomi turut mengamati mengapa kasus tersebut. Salah satunya Nailul Huda.
Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) itu, menyoroti beberapa kejanggalan yang mencerminkan potensi permasalahan dalam pengelolaan kredit bank tersebut. Misalnya, anomali dari laporan keuangan bank tersebut.
Salah satu anomali utama dalam laporan keuangan Bank Mayapada lonjakan aset properti tidak selaras dengan tren penyaluran kredit. Data menunjukkan periode 2022-2023, terjadi penurunan signifikan dalam penyaluran kredit (loan) yang bertolak belakang dengan peningkatan tajam aset properti bank.
Baca juga: Sidang Duplik, Kuasa Hukum Tegaskan Rekayasa Kasus Ted Sioeng
”Kalau kita lihat, pada 2022-2023, terjadi penurunan drastis dalam penyaluran kredit, tetapi di sisi lain, aset properti justru meningkat tajam. Ini sebuah anomali patut dipertanyakan,” ujar Nailul Huda.
Biasanya, kalau bank mengalami penurunan penyaluran kredit, aset properti seharusnya tetap stabil atau mengalami sedikit penyesuaian. Namun, dalam kasus Bank Mayapada, terjadi lonjakan signifikan, mengindikasikan strategi keuangan tidak wajar.
Kemudian, tingkat kredit bermasalah alias Non-Performing Loan (NPL) Bank Mayapada cukup tinggi, mencapai 4,31 persen. Dengan angka itu, seharusnya bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, bukan justru memaksakan ekspansi berlebihan.
Baca juga: Kuasa Hukum Ted Sioeng Soroti Ketidakberesan dalam Proses Hukum
“Ketika kredit bermasalah tinggi, bank biasanya melakukan restrukturisasi atau negosiasi agar kreditur dapat melunasi kewajiban. Namun, dalam kasus ini, tampaknya ada pengelolaan kurang baik dalam menyeimbangkan risiko kredit,” jelas Nailul.
Jika sebuah bank mengalami kesulitan dalam mengelola NPL, hal tersebut akan berpengaruh pada kesehatan keuangan. Bank Mayapada tampaknya mencoba menutupi risiko kredit dengan memperbesar aset properti, yang pada akhirnya justru meningkatkan risiko likuiditas.
Dalam konteks pengawasan, Nailul menekankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih banyak bersikap pasif dalam menunggu laporan dari whistleblower sebelum bertindak. Ia menggarisbawahi anomali laporan keuangan Bank Mayapada harus menjadi sinyal bagi OJK untuk lebih proaktif dalam melakukan audit, dan investigasi.
Baca juga: Bacakan Pledoi, Kuasa Hukum Ted Sioeng Sindir Jaksa
“OJK memiliki peran dalam pengawasan, tetapi lebih banyak bersifat pasif. Jika tidak ada whistleblower atau pihak yang melaporkan, kemungkinan besar kejanggalan seperti ini akan terus berlangsung tanpa tindakan berarti,” ujarnya.
Kasus whistleblower melibatkan nasabah justru dipidanakan oleh bank juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam perlindungan hukum. Dalam beberapa kasus, nasabah yang mengetahui kebobrokan internal bank malah mendapat tuntutan hukum, yang menambah kompleksitas dari permasalahan ini.
Pengamat Ekonomi dan Dosen Binus University Doddy Ariefianto, menambahkan transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan bank sangat penting. Isu transparansi bukan hanya menjadi masalah Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian global. Ia mencatat negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Inggris berani mengungkapkan kondisi kesehatan bank, sementara negara-negara Asia, termasuk Jepang dan Korea, cenderung tidak transparan mengenai masalah serupa.
Baca juga: Skandal Bank Mayapada, Aset Ted Sioeng Melayang
“Tantangan utama dihadapi perbankan Indonesia bagaimana dapat menjaga kepercayaan publik di tengah isu-isu yang mungkin muncul. Potensi kebocoran data dan keamanan sistem perbankan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan nasabah,” ujarnya.
Doddy menyoroti OJK memiliki peran penting dalam mengawasi dan memastikan bank-bank seperti Mayapada beroperasi dengan transparansi tinggi. “Dengan adanya pengawasan ketat, OJK dapat membantu mencegah potensi masalah dapat merugikan nasabah, dan bank. Menghadapi tantangan era digital, kolaborasi antara lembaga pengawas dan institusi keuangan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem perbankan sehat, dan berkelanjutan Indonesia.” (abg)