oleh Dahlan Iskan
Istri: Nanti malam makan apa?
Suami: Hmmmm.
Istri: Tadi ada tamu tiga orang.
Suami: Hmmm.
Istri: Besok saya tidak senam.
Suami: Hmmm.
Ketika sang istri bicara, sang suami terus memandangi layar HP. Kadang sambil mengerutkan dahi. Kadang tersenyum. Ganti-ganti.
Sang istri duduk di lantai –sambil melipat baju dan celana yang baru diambil dari tempat jemuran. Sudah hampir dua tahun baju-baju itu tidak pernah disetrika. Ups… Selalu disetrika kok. Disetrika pakai tangan, sekalian sambil melipatnya.
Dia terus mengajak suaminya bicara.
Sang suami juga terus mendengarkan dengan baik –sambil terus memandangi layar HP dengan baik. Juga masih sempat terus memberikan komentar ”hmm”. Apa pun kalimat sang istri, jawabnya ”hmm” itu.
Sang istri sudah tahu: apa yang lagi dipelototi suaminya –komentar pembaca di Disway. Yang kian banyak itu.
Saya pun mencomot salah satu celana dalam yang baru saja disetrika-tangan oleh istri. Juga kaus dalam. Saya bawa ke kamar mandi.
”Saya mau ke Jakarta,” kata saya.
”Kapan?”
”Sekarang.”
”Naik apa?”
”Hmmm….”
”Jalan darat lagi?”
”Kali ini naik kereta api. Berangkat dari Stasiun Pasar Turi jam 21.05,” jawab saya.
Saya tidak tahu istri saya makan apa malam kemarin. Saya harus segera ke stasiun. Perlu perjalanan satu jam.
Dua jam sebelumnya saya sudah tes antigen. Di ruko dekat rumah –hanya satu lemparan apa pun: Rp80.000. Dapat bonus masker satu lembar.
Teman rombongan saya tes antigen di drive-through: Rp90.000. Satunya lagi tes di dekat rumahnya: Rp60.000. Ada yang tidak sempat tes. Pilih melakukannya di stasiun: Rp45.000.
Malam itu saya harus naik kereta api. Saya hanya akan satu hari di Jakarta. Kalau pakai mobil, terlalu lelah mengemudi Surabaya–Jakarta PP (Pulang Pergi). Sekalian ingin tahu: sudah seberapa maju kereta kita.
Sebenarnya saya ingin mencoba kelas luxury. Yang kursinya besar. Yang bisa disandarkan. Pasti nyaman. Ini kelas baru. Dulu tidak ada.
Gagal.
Kelas luxury itu tinggal satu kursi. Saya merasa tidak enak sendirian di kelas tersebut. Satu kursi itu pun terjual cepat. Padahal, saya akhirnya setuju sendirian di situ. Umur saya sudah 70 tahun. Harus bisa istirahat lebih baik di waktu tidur.
Kepala stasiun menyambut saya di depan stasiun. Tapi, saya sudah di ruang tunggu. Sambil meneruskan mengirim komentar terpilih.
Saya pun diminta pindah ke ruang tunggu VVIP. Sambil ngobrol soal kemajuan kereta api. ”Jumlah penumpang sudah pulih,” ujar Suharianto, sang kepala stasiun yang asal Yogyakarta itu.
Ternyata kelas luxury memang selalu penuh. Padahal, harga karcisnya lebih mahal daripada naik pesawat: Rp 1.050.000.
Saya memuji ide lahirnya kelas luxury tersebut. Itu bisa menaikkan brand KAI.
Ternyata, kelas itu, secara pendapatan, lebih rendah daripada kelas eksekutif. Di gerbong luxury, isinya hanya 18 tempat duduk. Hitung sendiri. Sedangkan untuk kelas eksekutif, bila penuh, menghasilkan Rp 28 juta/gerbong.
Sudah begitu lama saya tidak naik kereta api: enam tahun? Sekitar itu. Ternyata tetap terjaga baik. Tetap bersih sekali –pun toiletnya.
Bahkan, tempat duduk eksekutif itu sudah berubah: bukan lagi kain khusus. Sudah diubah jadi semacam plastik khusus. Atau kulit sintetis. Itu lebih baik. Lebih sehat. Tidak menyerap debu.
Saya lihat ada dua tempat duduk kosong di depan saya. Saya pindah ke situ: bisa tidur mlungker. Yang penting, punggung bisa ditaruh terbaring. Lumayan.
Kalau toh malam itu saya kurang bisa tidur, mungkin ada penyebab lain: Liverpool kalah. Atau karena wifi saya kurang kuat. Pertandingan tengah malam itu sering putus. Saya coba pindah ke wifi gratis yang disediakan KAI –lebih parah lagi. ”Wifi gratis ini buang-buang uang. Tidak ada penumpang yang pakai. Lemot sekali,” ujar penumpang di belakang saya.
Pukul 05.00 kereta sudah tiba di Jakarta-Gambir: 7 jam 55 menit. Rasanya sulit lebih cepat dari itu: biarpun relnya sudah ganda. Atau, jangan-jangan ditemukan ide baru lagi: agar investasi rel ganda itu lebih bermakna.
”Kenapa harus berhenti di Bojonegoro?” tanya saya.
”Bu bupatinya minta terus. Kan ada minyak bumi di sana,” ujar Suharianto.
”Kenapa berhenti di Semarang?”
”Cukup banyak penumpang dari Semarang.”
Mungkin itu dulu. Sebelum ada jalan tol. Sekarang bisa beda. Saya lihat, di gerbong saya, hanya dua orang yang naik dari Semarang.
Saya setuju ada kereta yang berhenti di Bojonegoro, Semarang, dan di mana pun. Agar ada keadilan. Itu bisa diatur: kereta apa yang harus berhenti di mana. Tidak semua kereta berhenti di semua kota.
”Kenapa berhenti lagi di Pekalongan?”
”Harus ganti kru.”
”Kenapa harus ganti kru? Kan cuma delapan jam?”
”Peraturan menterinya begitu.”
”Saya paham. Itu demi keselamatan. Tapi, kenapa tidak membawa kru ganda saja? Gantian tidurnya?”
”Peraturannya yang harus diubah.”
Kereta masih berhenti lagi di Cirebon. Mungkin banyak penumpang yang turun di Cirebon. Saya tidak mengamati. Pertandingan baru saja selesai. Saya harus tidur. Tinggal ada waktu tidur tiga jam. (Dahlan Iskan)