indoposnews.co.id – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kerap kali menjadi ajang narapidana bertukar pengalaman kejahatan. Akibatnya, kala kembali pada masyarakat menjadi lebih lihai, dan berpengalaman. Bahkan, memiliki pengetahuan seputar pengalaman kejahatan baru.
Namun, apakah lapas menjadi “sekolah kejahatan” bukan sekadar spekulasi. Perlu data, dan bukti untuk menjawab “sekolah kejahatan” secara definitif. Perlu penelitian, dan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan Indonesia. ”Penguatan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi antar lembaga menjadi kunci untuk memastikan lapas benar-benar menjalankan fungsi sebagai tempat pembinaan, dan bukan “sekolah kejahatan”,” tutur Rospita Adelina Siregar, pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), dalam seminar bertitel “Penguatan Pembinaan Narapidana sebagai Upaya Mencegah Lembaga Pemasyarakatan ‘Sekolah Kejahatan’” garapan Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan FH UKI di Ruang Seminar, Gedung AB Lantai 3, Kampus UKI, Jumat, 21 Juni 2024, Cawang, Jakarta Timur.
Ktut Silvanita, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UKI, menyajikan data menarik. Beberapa data menunjukkan salah satu indikasi mengkhawatirkan angka residivisme tergolong tinggi. Di mana, narapidana kembali melakukan kejahatan setelah bebas. Kondisi itu, karena selama di lapas, terpapar dengan budaya kriminal, dan bertukar pengalaman dengan narapidana lain, termasuk residivis.
Baca juga: Izin Investor, Pantai Indah Kapuk Private Placement 1,56 Miliar Saham
Berdasar data 2016-2021 lalu, rata-rata jumlah narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) masuk Lapas 130.881 orang. Namun, sekitar 20.319 WBP alias 15,49 persen masuk kembali. Nah, dari data itu, menunjukkan beberapa kendala dihadapi Lapas untuk membina WBP agar tidak masuk kembali.
“Alasan WBP masuk kembali ke lapas, terutama karena kondisi ekonomi. Selain itu, ada kondisi lingkungan seperti stigma negatif masyarakat, dan karena pribadi residivis itu sendiri. Kalau pembinaan dilakukan dengan tepat, WBP dapat menjadi potensi ekonomi, dan menjadi modal Pembangunan,” urai Ktut.
Ktut melanjutkan pembekalan keterampilan juga perlu diberikan kepada WBP. “Ya, perlu juga ada program pemberdayaan Tenaga Kerja-Warga Binaan Pemasyarakatan (TK-WBP). Program itu, harus bisa meningkatkan, dan melengkapi WBP dengan kemampuan untuk berusaha sehingga memberi kesempatan memulai bisnis. Program itu, tidak hanya kemampuan finansial tetapi juga mengurangi residivis,” imbuh Ktut.
Baca juga: Tripar Multivision Salurkan Dividen Rp24 Miliar, Ini Jadwalnya
Senada dengan Ktut Silvanita, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Harkristuti Harkrisnowo memaparkan beberapa masalah dihadapi Lapas yaitu keterbatasan fasilitas, dan hukum pidana Indonesia masih didominasi pidana penjara. Selain itu, juga beberapa masalah sosial dihadapi mantan narapidana. Mendapat pekerjaan menjadi hal sering dihadapi mantan narapidana setelah kembali kepada kehidupan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan tempat sementara dapat memberi kebutuhan mantan napi sebelum benar-benar kembali kepada masyarakat. Rumah Singgah menjadi solusi dapat memberi kebutuhan bagi mantan narapidana. Konsep Rumah Singgah, menurut Harkristuti, tempat sementara bagi napi memiliki fasilitas berbasis komunitas (residential treatment centers), didirikan untuk memberikan kesempatan, dan peluang transisi terhadap sumber daya komunitas.
Itu penting agar memiliki upaya untuk kembali ke masyarakat sebagai anggota komunitas sehat, taat hukum, dan produktif setelah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan tertentu. “Jadi, konsep rumah singgah atau halfway house yaitu fasilitas berbasis komunitas untuk memberi kesempatan, dan peluang transisi terhadap sumber daya komunitas bagi individu,” tegas Harkristuti.
Baca juga: Catat! Ini Jadwal Dividen Tembaga Mulia USD1,83 Juta
Esensi rumah singgah sebagai wadah dalam proses reintegrasi mantan narapidana ke masyarakat. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal sementara, tetapi juga sebagai jembatan untuk membantu kembali ke kehidupan normal. Beberapa poin penting esensi rumah singgah memberi dukungan transisi. Rumah singgah harus bisa menyediakan tempat tinggal, dan kebutuhan dasar bagi mantan narapidana yang baru keluar dari lapas, yang mungkin belum memiliki tempat tinggal atau pekerjaan stabil.
Selain memberi keterampilan untuk pekerjaan setelah kembali kepada masyarakat, rumah singgah juga membantu mantan narapidana membangun jaringan sosial. Itu diharap mampu menghindari stigma negatif, dann memberi kesempatan memulai hidup baru dengan lebih positif. Terakhir, rumah singgah melakukan pencegahan yaitu mencegah residivisme. Dengan mendukung, dan pembinaan komprehensif, rumah singgah dapat membantu mantan narapidana kembali ke jalur benar, dan mengurangi risiko untuk kembali melakukan kejahatan. (abg)