Indoposonline.NET – PT Garuda Indonesia (GIAA) tengah menghadapi persoalan tidak ringan. Program pensiun dini tidak terelakkan. Itu dilakukan menyusul kinerja operasional menukik tajam akibat pandemi Covid-19.
”Opsi berat namun harus kami ambil untuk bertahan di tengah ketidakseimbangan industri,” tutur Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra, kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (24/5).
Baca Juga: Terbang Rendah, Utang Jerat Sayap Garuda Indonesia
Berdasar rekaman suara berisi pidato Irfan Setiaputra, Garuda Indonesia memiliki utang Rp70 triliun. Jumlah itu terus membengkak setiap bulan lebih dari Rp1 triliun. Pasalnya, pendapatan perusahaan tidak mampu menutup seluruh pengeluaran.
Pendapatan pada Mei lalu, hanya sekitar USD56 juta. Sedang pada saat bersamaan, masih ada biaya sewa pesawat USD56 juta, maintenance USD20 juta, avtur USD20 juta, dan belanja pegawai USD20 juta. Efeknya, arus kas perusahaan negatif, dan modal sudah tekor Rp41 triliun.
Baca Juga: Ini Alasan Forbes Nobatkan Bank Syariah Indonesia sebagai The World’s Best Banks 2021
Dia menambahkan, perusahaan terpaksa melakukan sejumlah upaya restrukturisasi. Salah satunya pemangkasan jumlah pesawat beroperasi dari 142 menjadi 70 pesawat. Sejatinya, kondisi terkini Garuda Indonesia itu, tidak perlu dirisaukan. Pasalnya, ada sederet kebiasaan buruk Garuda sejak Emirsyah berkuasa hingga sekarang tetap terpelihara.
Menurut pengamat penerbangan AIAC Aviation Arista Atmadjati, kebiasaan jelek itu, antara lain selalu melakukan window dressing alias mempercantik atau menyulap laporan keuangan, maupun portofolio bisnis untuk memikat hati para investor.
Baca juga: Perkuat Layanan, Bank Banten Akselerasi Penerapan Sistem Digital
Selanjutnya, bilang Arista, Garuda melakukan accounting treatment dengan beragam dalih. Dan, parahnya, laba operasional sepanjang 11 tahun terakhir hanya karena jualan a.c, aset, gedung, dan lain-lain. ”Jadi, tidak pernah ada laba operasional yang real profit karena usaha. Semu belaka,” tegas Arista.
Selain itu, tidak ada rasa sense of crisis para pejabat VP ke atas. Lihat saja, parkiran mobil pejabat Garuda Indonesia penuh Alphard dan Fortuner. Sewa pesawat lebih mahal 25 persen dari harga pasar dunia bahkan lebih tinggi dari Singapore airline.
Baca Juga: PTPP Optimistis Koleksi Kontrak Baru Rp30,1 Triliun
Tidak kalah penting organisasi pusat dan perwakilan sangat jumbo. Lalu, tidak pernah dilakukan survei analisa beban kerja karyawan. Sudah optimal atau hanya nebeng makan. Pressure atau tekanan organisasi non struktural terhadap Board of Director (BOD). Efeknya, banyak pejabat karbitan dan tidak kompeten menambah runyam karena output pejabat afiliasi dengan organisasi non struktural tidak kompeten. ”Assessment tidak terbuka dan calon tunggal,” ucapnya.
Parahnya, sikap pejabat sangat birokratis. Seharusnya, bertindak sales force di lapangan dengan semangat melayani. Saat ini, Garuda Indonesia butuh figur tegas seperti Robby Djohan dan Abdul Gani. ”CEO tegas dan tidak populer sangat dibutuhkan Garuda saat ini,” harapnya. (abg)