indoposnews.co.id – YANG paling saya khawatirkan saat ini adalah: Sri Mulyani mengundurkan diri. Bukan main sulit posisi menteri keuangan itu. Keterangannya di komisi XI DPR Selasa lalu terlihat seperti seorang pembohong. Terutama setelah besoknya, angka berbeda dikemukakan Menko Polhukam Mahfud MD. Angka itu dibeberkan lengkap di depan Komisi III DPR. Tentu Sri Mulyani bukan tipe pembohong. Tapi terlihat jelas angka yang ungkap seperti sebuah usaha menutupi sebuah kejahatan.
Betapa sulit posisi Sri Mulyani setelah rapat Mahfud dengan komisi III. Kalau dikenal suka berbohong mungkin cuek saja. Persoalannya, Ia selama ini tepercaya. Saya setuju dengan Mahfud MD, Ia bukan pembohong. Ia hanya menerima angka-angka itu dari anak buahnyi. Ia harus percaya pada angka yang sampai padanyi. Di satu pihak, Ia harus menyemangati anak buah: agar program kerja bidang keuangan mencapai target. Sesekali juga harus membela anak buah.
Di lain pihak kini dia tidak bisa lagi menghindar: begitu banyak anak buahnya menyebabkan dirinyi terpojok. Di muka publik pula. Di masalah begitu sensitif: korupsi dan pencucian uang. Sebagai menteri dikenal bersih, Sri Mulyani menjadi terlihat seperti tidak berdaya dalam kandang buaya anak buahnya. Idealisme dan keinginannyi untuk bersih begitu besar. Tapi yang terbongkar sekarang ini begitu nyata:
Baca juga: Superirit
Soal pencucian uang sampai menumpuk begitu lama dan begitu besar. Yang saya khawatirkan dari Sri Mulyani adalah ini: jangan-jangan dia mulai berpikir, untuk apa lagi jadi menteri. Keinginan baiknyi tinggi mentok di kenyataan kerja anak buah. Harapannyi begitu tinggi kandas di keruwetan birokrasi. Untuk apa lagi jadi menteri. Gaji sebagai menteri begitu kecil. Peluang untuk jadi sesuatu lebih tinggi juga sudah hampir tidak ada lagi. Lalu untuk apa kelelahan pikiran, mental, dan fisik Sri Mulyani.
Kalau ujung-ujungnya semua pengabdian itu tenggelam oleh kasus-kasus besar seperti ini. Keinginannyi menegakkan sesuatu ternyata seperti menegakkan benang basah. Hanya pejuang sejati tidak frustrasi dengan kenyataan seperti itu. Harapan saya Sri Mulyani pejuang sejati: pilih menyelesaikan persoalan begitu besar, begitu penting, dan begitu sensitif. Jangan pernah punya pikiran mundur lagi, dengan alasan diperlukan lembaga keuangan dunia. Maka saya ucapkan selamat berjuang sebagai pejuang.
Pasti saya membayangkan betapa frustrasi Sri Mulyani. Ke pihak luar dia menghadapi opini publik begitu kejam. Tanpa ada peluang lagi baginyi untuk mengelak, membantah, atau meluruskan. Ke dalam dia harus menghadapi anak buah dengan perasaan jengkel memuncak. Tapi semua sisa pekerjaan itu harus diselesaikan birokrasinya sendiri. Apakah Sri Mulyani masih bisa mengandalkan mereka? Untuk, misalnya, tidak dibelok-belokkan lagi?
Baca juga: Kiamat SVB
Kalau Sri Mulyani tidak percaya pada anak buahnyi, lantas siapa yang harus menanganinya. Potong satu eselon? Sapu bersih begitu banyak orang? Atau serahkan ke lembaga swasta seperti Ernst & Young? Seperti dulu bea cukai diserahkan ke perusahaan Prancis? Forum Komisi III DPR dengan Mahfud benar-benar telah membuat posisi Sri Mulyani begitu sulit. Khususnya sebagai menteri. Bukan sebagai pribadi. Misalnya, bagaimana dengan pedenyi Sri Mulyani bilang di depan DPR transaksi mencurigakan menyangkut orang kemenkeu hanya Rp3,5 triliun.
Sedang Menko Mahfud dengan gamblang menyebut angka itu Rp35 triliun. Lengkap dengan buktinya. Pun dengan ketegasan khasnyi, Sri Mulyani merasa tidak pernah menerima surat dari PPATK. Sementara besoknya menko menyebut surat itu ada tanda terimanya. Saya memperkirakan Sri Mulyani akan sangat sulit berkilah lagi. Maka pilihan terbaik menyelesaikan dengan segera. Yang juga telak soal ketegasan Sri Mulyani mengatakan sudah menindak pelaku pencucian uang dimaksud.
Sedang harusnya itu belum cukup. Tidak boleh hanya pelakunya ditindak. Menurut Menko Mahfud, seluruh jaringannya harus diungkap. Seperti kata menko, tindak pencucian yang itu pasti berjaringan. Bisa sampai istri, anak, sopir, dan teman-temannya. Pokoknya Sri Mulyani kini dalam posisi begitu sulit. Atau dia menemukan cara berkilah yang baru. (Dahlan Iskan)