indoposnews.co.id – Baru-baru ini, film superhero asli Indonesia Sri Asih dirilis ke publik. Film yang dibintangi artis Pevita Pearce ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh pencinta film nasional. Apalagi sejak dirilisnya Gundala pada 2019, produksi dari Jagat Sinema Bumilangit ini sempat terhenti karena pandemi. Tidak mengherankan, kalau film jagoan wanita yang ditunggu-tunggu selama lebih dari dua tahun ini mendapat respon positif masyarakat. Apalagi jika dibanding alur cerita dan efeknya, Sri Asih dinilai tidak kalah dengan karya-karya produksi Marvel Cinematic Universe.
Sayangnya, setelah lebih dari tiga pekan dirilis hingga tulisan ini dibuat, film besutan sutradara Upi ini tidak mencapai angka satu juta penonton. Paradoks ini terlihat dari beberapa bioskop yang sudah menurunkan film Sri Asih padahal belum mencapai satu bulan penayangan, sementara review yang diperoleh rata-rata positif. Hampir tidak ada komentar negatif baik dari sisi penonton maupun kritikus film. Jalan cerita menarik, special effect canggih, aktor dan aktris tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam berakting, seolah menguap dengan fakta jumlah penonton tidak mampu menembus angka keramat satu juta.
Baca juga: Tayang 29 Desember, Film KKN di Desa Penari: Luwih Dowo Luwih Medeni Diburu
Mari kita banding film horor lokal sebelumnya ditayangkan. Misalnya, KKN Desa Penari, yang ditayangkan lebih dari dua bulan, dan mencapai angka lebih dari 10 juta penonton. Bahkan sampai ditayangkan lagi extended version-nya berisi adegan-adegan sebelumnya disensor pada versi awal. Lalu kita lihat lagi film Jailangkung Sandekala, yang hari ke-12 penayangan sudah menembus angka 1,1 juta penonton. Dan, film ini menjadi film horor keenam buatan lokal menembus angka satu juta pada 2022, setelah KKN Desa Penari, Pengabdi Setan 2, Ivanna, The Doll 3, dan Kuntilanak 3.
Bagaimana dengan film-film horor atau superhero buatan Hollywood di Indonesia? Kita lihat film Doctor Strange in Multiverse of Madness menembus angka lebih dari 6 juta penonton, disusul Thor: Love and Thunder mencapai 4 juta lebih penonton. Tahun sebelumnya, Spiderman No Way Home tembus angka 8 juta penonton di Indonesia. Sebuah fakta film superhero kita belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, setidaknya sampai hari ini.
Baca juga: Film Bayi Ajaib Rilis Trailer
Idealis atau Realistis?
Terjun dalam industri perfilman tentu ada hal-hal perlu dipertimbangkan, seperti biaya produksi, talenta terbaik, tren pasar, perubahan perilaku penonton, momentum, dan kompetitor. Banyak hal sudah diperhitungkan para pelaku industri film tanah air, namun faktor momentum agaknya masih belum menjadi pertimbangan utama.
Di luar film horor dan superhero, tentu kita ingat betapa film Laskar Pelangi pernah menjadi film box office di Indonesia karena faktor momentum larisnya buku novel yang ditulis Andrea Hirata tersebut. Sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta tembus 3 juta penonton, mengalahkan Ada Apa dengan Cinta, tentu tidak lepas dari faktor momentum larisnya novel karangan Habiburrahman El Shirazy. Sekuel Laskar Pelangi, yaitu Edensor, ternyata hanya mampu bertengger di angka 300 ribu penonton, kalah jauh sama Sang Pemimpi (film kedua Laskar Pelangi) tembus 1,8 juta penonton. Kenapa demikian? Sekali lagi, momentum. Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi hanya berjeda satu tahun masa produksi, sedang Edensor dibuat empat tahun setelahnya, ketika hype masyarakat terhadap novel-novel Andrea Hirata telah menurun.
Baca juga: Czech Symphony Orchestra Isi Scoring Film Buya Hamka
Kesuksesan film-film jagoan Marvel tentu tidak lepas dari komiknya yang laris manis di pasaran, dan pre-promosi dilakukan jauh hari sebelumnya. Kita ingat Marvel Studios dalam ajang internasional Comic-Con San Diego 2022 telah mengumumkan serangkaian film maupun serial terbaru untuk fase 5 dengan periode tayang 2023-2024 untuk melanjutkan garis waktu jagad Marvel Cinematic Universe (MCU). Dan ini selalu menjadi ciri khas MCU, melakukan pra promosi untuk film-filmnya yang akan datang. Mereka menciptakan rasa penasaran jauh hari bahkan sebelum produksi dilakukan.
Tahun 2023 nanti, diprediksi tren masyarakat Indonesia masih tetap akan sama. Mereka akan memilih film horor untuk produksi nasional, dan film Hollywood untuk kisah superhero. Apakah artinya tidak ada peluang sama sekali dari sineas Indonesia untuk membuat produksi film superhero, atau haruskah tetap mengikuti tren pasar yang cenderung memilih film horor?
Baca juga: Simak! Berikut Deretan Film Terbaik KlikFilm Dipenghujung Tahun
Di sinilah perlu melihat dari sisi produsen dan sutradaranya itu sendiri, apakah ini akan menjadi proyek idealis (mempromosikan nilai-nilai tertentu dengan resiko rugi), atau proyek realistis (tidak peduli nilai yang diusung, yang penting untung). Keduanya punya resiko. Keduanya punya peluang gagal.
Film Marsinah besutan sutradara Slamet Rahardjo merupakan salah satu contoh film idealis yang kurang diterima pasar. Namun, dari sisi lain di luar bisnis, film ini berhasil menyadarkan kita tentang perjuangan seorang buruh dalam membela hak-hak kaumnya. Dan ini jauh lebih bernilai dari sekedar uang. (Muchamad Nur Wachid, CEO Bawana Entertainment)