Indonesia dapat mengambil peran diplomasi antariksa yang mengedepankan kepatuhan negara terhadap tata kelola global dan regional. Hal ini penting untuk memastikan akses dan pengembangan kekuatan yang adil bagi negara dan bangsa di dunia. Dalam konteks tujuan pembangunan berkelanjutan, teknologi antariksa menjadi salah satu tools yang diharapkan dapat mendorong pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan 2030.
Sementara itu, Edy Prasetyono, S.Sos, M.s, Ph.D. dalam materi yang disampaikan menjelaskan potensi keantariksaan dalam geostrategi diplomasi Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan. Pandangan tentang space baik itu daratan maupun laut merupakan sesuatu hal yang ditekankan oleh Amerika Serikat. Tokoh-tokoh pemikir tentang space dengan konsep geostrategi yang didasarkan atas visi politik diantara lain, Ratzel, Kjellen, McKinder, Houshofer, Mahan, Spykman, Kennan, Gray, dan lain-lain.
Baca juga : Saran Universitas Indonesia Hadapi Lonjakan COVID di Penghujung Tahun
“Esensi dari space adalah ruang yang selalu dieskplorasi dan dimanfaatkan oleh banyak kekuatan untuk memperoleh keunggulan terhadap pihak atau kekuatan lain. Merefleksikan apa yang terjadi di daratan atau bumi, Gray mengatakan bahwa geography adalah “the mother of strategy”. Pandangan tersebut menegaskan signifikansi ruang dalam strategi,” ujarnya.
Ketertarikan dalam diplomasi adalah bisa untuk tidak membuat satu pengaturan fleksibel yang menguntungkan negara-negara ekuator. Misalnya, seperti alokasi slot untuk satelit. Walaupun, kedaulatan dilarang tetapi tidak ada larangan eksplisit untuk hak berdaulat. Terdapat beberapa kekhawatiran dalam hal ini yaitu, peningkatan jumlah satelit, bahaya tabrakan dan jatuhnya satelit, militerisasi orbit dan aktivitas permusuhan (seperti spionase atau intelijen), serta perusahaan peluncuran satelit swasta. (ash)