indoposnews.co.id – Anda sudah tahu: Presiden Jokowi satu mobil dengan Capres PDI-Perjuangan Ganjar Pranowo. Dari Istana Batutulis ke Jakarta. Lalu satu pesawat kepresidenan dari Jakarta ke Solo. Salat idulfitri bersama di masjid baru Solo. Yang Anda belum tahu: apa saja yang dibicarakan selama perjalanan berjam-jam itu. Dugaan saya: soal siapa calon wakil presiden. Salah satunya lagi: soal kelanjutan pembangunan. Satu-mobil-satu-pesawat-satu-masjid itu tidak perlu tafsir lagi.
Jokowi menerima sepenuhnya pencalonan Ganjar oleh PDI-Perjuangan. Tidak lagi ada pikiran menduakan Ganjar dengan Prabowo Subianto. Jokowi hadir ketika Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati mengumumkan Capres Ganjar di Istana Batutulis nun jauh setelah Puncak. Apalagi ikut memberi sambutan. Padahal, Presiden Jokowi sudah telanjur pulang ke Solo. Untuk persiapan Lebaran di kota kelahiran. Semua itu fakta bahwa Jokowi sudah kembali mantap dengan Ganjar.
Tinggal Jokowi menghendaki siapa yang jadi Cawapres. Di medsos banyak mengusulkan Menko Mahfud MD. Terutama bila Indonesia ingin hukum lebih tegak. Tapi publik juga tahu Jokowi sangat menghendaki Menteri BUMN Erick Thohir sebagai cawapres. NU sangat mengharapkan Wapres dari NU lagi. Tapi Erick Thohir kini sudah dianggap NU. Ansor. Ia Banser. Bersertifikat pula. Pula, ia ketua panitia satu abad NU yang menggelegar.
Baca juga: Ganjar Lebaran
Kalau Ganjar dan Erick berpasangan, dengan dukungan penuh Jokowi dan Megawati, maka kansnya begitu besar. Apalagi sudah mulai muncul kampanye: terpilihnya Ganjar nanti sudah sama dengan Jokowi tiga periode. Maka tema pilpres ke depan benar-benar dua arah yang berbeda: lanjutkan (Ganjar), dan perubahan (Anies Baswedan). Itu kalau Anies benar-benar bisa maju jadi capres. Di mana posisi Prabowo? Prabowo menjadi sangat ditentukan PKB.
Begitu PKB meninggalkan koalisi dengan Gerindra, Prabowo tidak dapat kendaraan. Partainya NU itu akan sangat realistis. Begitu melihat posisi Ganjar pasti terpilih PKB akan sekalian bergabung ke Ganjar. Kalau sampai itu terjadi maka NU bisa bulat ke Ganjar: struktural ikut Jokowi, kultural juga ikut Jokowi. Nasdem bisa berubah pikiran. Kalau sampai Nasdem seperti itu, PKS dan Demokrat senasib dengan Gerindra. Sama-sama tidak dapat memiliki satu kendaraan pencapresan.
Tapi Anda sudah tahu: politik itu sangat dinamis. Bisa saja tiba-tiba Gerindra bersatu dengan PKS, dan Demokrat. Khusus untuk membangun satu kendaraan capres. Lewat kendaraan baru itu Prabowo-Anies bisa maju. Atau Anies-Prabowo. Kalau sampai itu terjadi berarti sama lagi dengan Pilpres 2019. Orang kini begitu kasihan pada Prabowo. Ternyata ditinggal begitu saja. Belakangan ini begitu sering Prabowo diberi angin surga. Bahkan pejabat kunci seperti Kepala BIN Budi Gunawan.
Baca juga: Lebaran Separo Babak
Budi Gunawan sudah begitu jelasnya mengatakan: sebagian aura Jokowi sudah pindah ke Prabowo. Adakah Prabowo masih berusaha agar setidaknya jadi wapresnya Ganjar? Atau pertemuan empat mata dengan Presiden Jokowi kemarin itu membicarakan hal lain? Semua itu tidak penting lagi. Lebaran ini ternyata telah menjadi penanda kian jelasnya peta Pilpres 2024. Tidak lagi seabu-abu sebelum Lebaran. Rebutan Khofifah Indar Parawansa menjadi cawapres tidak relevan lagi.
Negosiasi setelah ini tinggallah mencari konsesi di tingkat kabinet. Pun bagi Golkar. Bergabung ke Gerindra tidak begitu ada harapan bisa memenangkan pilpres. Pun bila bergabung ke Anies Baswedan. Dalam posisi seperti itu Golkar pasti sekalian saja bergabung dengan yang sangat mungkin menang. Maka pilpres itu sudah selesai. Yang punya massa (Jokowi-Megawati-Ganjar) bertemu dengan yang punya dana. Sempurna. Orang seperti Luhut Panjaitan tentu juga menginginkan keberlanjutan.
”Kalau semua program Jokowi dilanjutkan, tahun 2028 pendapatan perkapita rakyat Indonesia bisa di atas USD7.200,” katanya. Maka Anies kini mendapat tantangan berat untuk meningkatkan elektabilitas. Agar partai pendukungnya, terutama Nasdem, tidak undur diri. Anies juga harus siap dengan konsep: apakah bisa menjanjikan pendapatan perkapita setinggi disebut Luhut itu. Kalau mampu, bagaimana caranya. Siapa tahu banyak pilihan lebih baik dari yang sudah pasti menang itu.(Dahlan Iskan)