indoposnews.co.id – SRI MULYANI bisa mengakhiri kisruh media sosial (medsos) laporan PPATK senilai Rp349 triliun dengan elegan. Lihatlah caranya. Bisa dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang ingin mengakhiri kehebohan di media massa. Sri Mulyani mengakhiri heboh itu dengan cara tidak asal bantah. Tidak juga ada kesan cuci tangan. Sebagai orang yang begitu sering digebuki medsos di seumur hidupnyi, heboh Rp349 triliun sekarang ini bukan yang terberat.
Saya mengikuti penjelasan Sri Mulyani bersama Menko Polhukam Mahfud MD yang juga viral itu. Sri Mulyani bisa mendudukkan persoalan begitu jelas, tanpa terasa njelimet. Tidak ruwet. Tidak bertele-tele. Terasa ada keterbukaan, dan apa adanya. Pertama, laporan PPATK itu ternyata meliputi kurun waktu lebih dari 10 tahun: dari 2009 sampai 2023. Artinya, heboh ini bukan akibat kejadian tahun-tahun terakhir saja. Bahwa kenapa titik tolaknya 2009, bukan 2013, menarik juga dicarikan jawabnya.
Pasti bukan lantaran tahun itu PPATK baru mulai bekerja. Lembaga itu didirikan di tahun 2002. Untuk memonitor terjadinya kejahatan pencucian uang. Mungkin juga tahun 2009 dipilih karena di tahun itulah kasus Gayus Tambunan muncul. Kedua, laporan dari PPATK yang dia terima pertama ternyata tanpa menyebut angka rupiah. Yakni yang dikirim tanggal 7 Maret 2023. Isinya: 196 surat yang pernah dikirimkan PPATK sejak 2009 tersebut.
Baca juga: Superirit
Ketiga, ketika muncul heboh Rp349 triliun, Sri Mulyani belum pernah menerima surat apa pun dari PPATK mengenai angka itu. Pun sampai 11 Maret 2023, ketika dia tampil di depan pers bersama Mahfud MD. Dua hari kemudian baru Sri Mulyani menerima surat PPATK, tertanggal 13 Maret 2023. Di situ angka Rp349 triliun muncul. Sri Mulyani langsung bergerak. Dia teliti isinya: apakah semua menyangkut pejabat atau instansi kementerian keuangan seperti terkesan di medsos.
Ternyata tidak. Justru Rp300 triliun menyangkut 65 transaksi keuangan tidak melibatkan orang Kemenkeu. Transaksi itu dilakukan berbagai perusahaan dan perorangan. Lalu Rp74 triliun lagi tertera dalam surat PPATK untuk instansi penegak hukum. Mengingat angkanya begitu fantastis, Sri Mulyani memerintahkan Bea Cukai melakukan pemeriksaan. Siapa tahu angka itu soal impor dan ekspor. Yang pembayaran bea cukainya tidak beres. Pemeriksaan pun dilakukan bea cukai bersama tim PPATK.
Lalu diperoleh satu contoh. Yakni transaksi ekspor dan impor emas batangan dan emas perhiasan. Itu dilakukan 17 entitas bisnis. Ini saja menyangkut Rp205 triliun. Ternyata tidak ditemukan kejanggalan di proses bea cukai. Maka Sri Mulyani memerintahkan pemeriksaan dari segi pajaknya. Di situ bisa diperiksa perbandingan antara omzet, SPT, dan pembayaran pajaknya. Untuk melihat omzet, Ditjen Pajak tidak hanya berpedoman pada SPT.
Baca juga: Kiamat SVB
Ditjen Pajak lebih berpedoman pada angka PPATK. Maka diketahuilah ada angka PPATK-nya lebih tinggi dari SPT. Ada juga lebih rendah. Ditjen pajak akhirnya berpedoman pada angka dari PPATK. Akhirnya didapat tambahan penghasilan negara. Sektor pajak Rp7,8 triliun, dan sektor bea cukai Rp1,1 triliun. Nah, dari penjelasan itu, terasa ada ketulusan di lingkungan bea cukai, dan pajak untuk menelusuri angka-angka PPATK. Tidak ada kesan Kemenkeu dalam posisi sewot akibat jadi sasaran gebukan.
Apakah Kemenkeu merasa jadi korban PPATK, dan menko Polhukam? Yang melontarkan begitu saja angka Rp349 triliun itu?Diam-diam bisa saja perasaan seperti itu ada. Tapi secara komunikasi massa tidak terasa ada. Sama sekali. Mungkin karena Kemenkeu sadar angin lagi tidak berpihak padanya. Kasus anak pejabat Ditjen Pajak menyiksa anak pengurus Ansor itu telah merembet ke mana-mana: Rubicon, transaksi keuangan, Moge sampai pungutan pajak.
Maka munculnya transaksi mencurigakan Rp349 triliun langsung dianggap bagian kebobrokan Kemenkeu. Begitu sulit heboh Rp349 triliun itu dikendalikan. Akhirnya, Sri Mulyani menemukan cara mengakhirinya. Mungkin Sri Mulyani masih perlu membangun tiga patung peringatan di Ditjen Pajak: patung Gayus, patung Angin Prayitno, dan patung Rafael Alun. Begitu fenomenal tiga nama itu: bisa jadi tsunami yang menghancurkan reputasi Kemenkeu.
Baca juga: Debu Neom
Kasus terungkap oleh Kabareskrim saat itu, Susno Duadji. Susno ditangkap dua kali oleh anak buahnya sendiri. Lalu pilih mengundurkan diri dari jabatannya. Sejak itu Susno pulang kampung ke Pagar Alam, Sumsel. Ia bertani, dan berkebun di sana. Belakangan rajin memberi komentar di YouTube soal apa saja mengenai polisi. Terakhir soal Teddy Minahasa tersangkut perdagangan narkotika. Ia heran bagaimana jenderal seperti TM bisa tiga kali jadi kapolda. Kini Susno masuk PKB.
Ia akan jadi calon anggota DPR PKB dari dapil Sumsel. Kasus Angin Prayitno terbongkar justru karena mistik. Istri Angin minta seseorang menebar garam keliling rumah tukang las. Si tukang las dikenal sangat baik oleh keluarga Angin. Dipercaya. Termasuk dipercaya memegang aset Angin. Kelihatannya si tukang las mulai menjauh. Keluarga Angin khawatir ia menghilang berikut aset ata nama dirinya. Agar tukang las kembali dekat keluarga Angin, diupayakan lewat cara spiritual.
Baca juga: Gurun Berbisik
“Ini garam dari Pak Kiai” ujar Ny Angin saat menyerahkan garam itu. Ketika garam itu ditebarkan, si penebar ditangkap petugas kampung. Lalu mengakulah apa yang harus diakui. Terbongkarlah Angin melakukan korupsi besar-besaran di Ditjen Pajak. Kasus Rafael Alun terbongkar secara tidak langsung. Kalau saja anak Rafael baik-baik saja, pasti tidak ada yang tahu semua itu. Maka tiga patung pejabat pajak itu, layak dibangun.
Saya ingat seorang dokter ahli menyimpan liver pasien dalam toples besar. Toples itu ia taruh di meja kerjanya. Itu liver yang gagal ia transplantasikan kali pertama dalam kariernya. Sejak itu ia selalu berhasil mengganti liver terkena kanker stadium 4. Ribuan keberhasilan ia hasilkan setelah satu kegagalan itu. Termasuk penggantian liver saya itu. (Dahlan Iskan)