indoposnews.co.id – Mayoritas negara dunia merespons positif pendekatan kewarganegaraan ganda (double citizenship). Mengizinkan warganya memiliki kewarganegaraan negara lain tanpa menghilangkan kewarganegaraan negara asal. Setidaknya pada 2020, sebanyak 76 persen negara dunia sudah memiliki respons positif tersebut.
Saat ini, lebih dari 130 negara menerima atau mentolerir kewarganegaraan ganda dalam berbagai macam bentuk. Peningkatan itu, terjadi akibat migrasi, peningkatan transformasi kewarganegaraan secara gender-neutral (karena makin banyak negara telah mencabut undang-undang yang hanya memperbolehkan perolehan kewarganegaraan melalui patrilineal descent). Dengan begitu, anak hasil perkawinan campuran makin banyak, dan anak-anak ini secara otomatis memiliki kewarganegaraan dari orang tuanya.
Baca juga: Kemenkeu Siapkan Dana Pensiunan Hingga THR Rp156,4 triliun
Bagi anak-anak ini, kewarganegaraan ganda merupakan hak asasi manusia. Peter J. Spiro (2010) menyebut memaksa anak hasil perkawinan campuran untuk memilih salah satu dari kewarganegaraan yang dianut kedua orang tua dapat mempengaruhi otonomi individu terhadap identitas anak, dan hubungan dengan kedua orang tua berbeda kewarganegaraan.
Namun demikian, tidak semua negara memiliki peraturan perundang-undangan atau pola kewarganegaraan memadai untuk mengakomodasi kebutuhan terhadap kewarganegaraan ganda. Padahal saat bersamaan, makin banyak mulai mengakui potensi diaspora untuk berkontribusi kepada negara secara ekonomi, budaya, dan politik. Dengan mengakui, dan mendukung kewarganegaraan ganda, negara tidak hanya memenuhi hak individu warga negara, namun juga ikut mendukung perkembangan negara agar makin mengglobal, dan membuka kesempatan membangun hubungan dengan negara lain untuk meningkatkan kerja sama antar-negara baik segi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Baca juga: Rencanakan Masa Depan, Manulife Indonesia dan Bank DBS Indonesia Hadirkan MiTRUST
Indonesia menjadi salah satu negara menghadapi tantangan ini. Tidak sedikit WNI baik laki-laki maupun perempuan menikah dengan pasangan berbeda kewarganegaraan. Banyak diantaranya kemudian memiliki keturunan, kemudian bersama pasangan Non-WNI memilih tinggal menetap di Indonesia. Itu menjadi tantangan mengingat perundang-undangan di Indonesia belum akomodatif untuk pemohon kewarganegaraan ganda, terkecuali untuk anak-anak berusia sampai 18 tahun, dengan masa toleransi sampai usia 21 tahun.
Politik hukum kewarganegaraan tunggal dianut Indonesia saat ini menurut Nia, Ketua Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), belum memberi perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran, seperti halnya keluarga Indonesia pada umumnya. ”Saat ini, mayoritas negara dunia telah memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi keluarga perkawinan campuran. Selayaknya Indonesia memberi perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran dengan penerapan azas kewarganegaraan ganda,” tegasnya.
Baca juga: Presiden RI Joko Widodo Menerima Penghargaan “Global Citizen Award”
Politik hukum kewarganegaraan tunggal mungkin relevan pada masanya. Namun seiring perkembangan zaman, dan globalisasi, sudah saatnya Indonesia menganut kewarganegaraan ganda. Berdasar laporan Kajian Akademis Perubahan Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 (LPPSP FISIP UI, 2020) isu politik dan hukum kewarganegaraan tunggal dikaitkan dengan tren global dalam memberikan perlindungan warga negara menjadi sangat menarik didiskusikan, dan diangkat para pembicara ahli di bidangnya melalui Webinar Kewarganegaraan Ganda Seri 4, “Politik Hukum Kewarganegaraan Tunggal Dikaitkan dengan Tren Global: Cukupkah Memberikan Perlindungan untuk Warganya?”, pada Kamis, 15 September 2022.
Webinar itu, hasil kerja sama Puska Kessos LPPSP FISIP UI dan APAB, masih dalam upaya mendorong perubahan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Tentu dengan harapan menjadi langkah awal perencanaan jangka panjang dalam optimalisasi perlindungan keluarga perkawinan campuran.
Baca juga: Robby Shine dan Nastasya Shine Rilis Single ‘Mister Lova Lova’
Webinar menghadirkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar, Dosen Hukum Perdata Internasional FHUI Dr. Tiurma Mangihut Pitta Allagan, dan H. Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora.
Salah satu elemen kebutuhan kewarganegaraan ganda banyak migrasi warga negara akibat globalisasi ke negara memiliki sistem kewarganegaraan berbeda. Beberapa keuntungan isu kewarganegaraan ganda apabila diterapkan, dan diakomodir di Indonesia antara lain kewarganegaraan ganda berpotensi meningkatkan perekonomian nasional, akan meningkatkan keuangan inklusif, dan menjadi salah satu sumber devisa untuk perkembangan ekonomi Indonesia.
Baca juga: Film Miracle In Cell No 7 Tembus 3 Juta Lebih Penonton di Hari ke 11
Lalu, mendorong perkembangan perdagangan karena menumbuhkan perekonomian antar-negara. Memperluas kesempatan kerja, berpotensi meningkatkan human capital, skill, dan network warga negara Indonesia. Peluang WNI memperoleh peranan penting di luar negeri. Potensi meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM).
Selanjutnya, ada tiga faktor mempengaruhi seseorang menjadi berkewarganegaraan ganda. Yaitu, asas berkewarganegaraan berbeda. Perkawinan campuran WNI dan WNA. Memperoleh kewargaanegaraan negara lain. Tidak hanya pada kepentingan individu atau anak, ada potensi dan manfaat akan diperoleh negara jika anak-anak hasil perkawinan campuran dapat berkontribusi untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Baca juga: Film “The Woman King” Duduki Puncak Box Office Amerika Utara
”Menjadi kerugian jika melihat banyak anak-anak perkawinan campuran melepas WNI dan memilih menjadi WNA karena UU kita mengatur demikian atau WNA mengatur jika bekerja di industri strategis hanya boleh memiliki satu warga negara, contohnya, Amerika Serikat,” tegas Cahyo.
Cahyo mengapresiasi organisasi yang concern terhadap isu kewarganegaraan ganda juga terus melakukan diskusi, memberikan argumentasi mengenai manfaatnya. Saat ini, diskusi hanya membahas kepentingan-kepentingan individu dan keluarga. Penting untuk mulai mendiskusikan manfaat bagi pembangunan negara, perekonomian bangsa, dan negara. Itu dapat dikaji melihat pros and cons melalui penelitian, dan konsultasi melihat negara-negara lain. ”Kalau kewarganegaraan ganda memberi lebih banyak manfaat bagi Indonesia, mengapa tidak?,” selorohnya.
Baca juga: 40 Perusahaan Buka Lapangan Kerjaan di Job Fair Mall Taman Palm Cengkareng
Sementara Dosen Hukum Perdata Internasional FHUI Dr. Tiurma Mangihut Pitta Allagan, menyebut kalau menilik dari sisi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda sebagai salah satu titik taut penentu yang menunjuk hukum berlaku pada pribadi kodrati untuk menentukan status personal, termasuk perlindungan negara.
Mengingat definisi kewarganegaraan, kewarganegaraan ganda terbatas itu sebenarnya sudah memberikan suatu opsi sangat baik. Hanya persoalannya bagaimana memilihnya? Karena kewarganegaraan tidak hanya memilih soal status personal, hak, dan kewajiban, atau kewajiban pembayaran pajak, tapi harus melihat genuine link-nya kemana? Perasaannya lebih dekat ke negara mana. ”Itu menjadi persoalan,” tegasnya.
Baca juga: Sutradara Damien Dematra Dinominasikan untuk Nobel Peace Prize
Soal apakah politik hukum kewarganegaraan tunggal sudah cukup melindungi warganya, Tiur berpendapat cukup. Namun pada akhirnya jika dibanding negara lain, timbul pertanyaan “Saya dapat apa ya? Apakah saya akan mendapat lebih jika menjadi warga negara di sana?” ini penyebab perasaan menjadi berubah. Ini bukan membicarakan perlindungan, tetapi berbicara manakah lebih memberi hal positif lebih.
Sedang Fahri Hamzah, mengatakan sudah berjanji tetap mendampingi ibu-ibu memperjuangkan kewarganegaraan ganda. “Saya punya pandangan tidak berubah dari dulu tentang ini semua,” tegasnya.
Baca juga: Bidik Market Online, Henkel Luncurkan Loctite Indonesia Official Store di Tokopedia
Pertama, interpretasi dari dasar-dasar atau nilai-nilai fundamental harus selalu diperkuat. Dalam kaitan dengan konstitusi, amandemen 4 kali, dan itu menjadi dasar pembentukan undang-undang, dan pasal terbaru. Pasal-pasal yang diperkuat yakni mengenai pasal HAM. Sebab sering ada dikotomi dalam interpretasi terhadap fondasi negara dengan hasil otoriter di dalamnya. ”Kita harus mengambil interpretasi terakhir yaitu amandemen keempat yaitu pasal-pasal tentang HAM khususnya pasal 28. Sehingga ketika terjadi sengketa dalam konstitusi, hakim harus berpegang teguh pada HAM,” ucapnya.
Fahri mengatakan dalam Pancasila juga terlihat adanya hak-hak dalam perlindungan dasar sangat kuat. Ketika dibaca pada sila 1 yaitu hak yang diberikan Tuhan seperti hak dalam berkeluarga, dan hak untuk melindungi keluarga, sehingga negara harus bisa memberikan hak tersebut. Sila pertama menjadi relevan untuk memberikan hak kewarganegaraan ganda kepada WNI adalah bagian dari kewajiban negara untuk melindungi HAM, dan hak-hak pemberian dasar diberikan Tuhan.
Baca juga: Mau Tampil Cantik! Jangan Lewatkan 24 Brand Kecantikan di Skincara Exhibition
Pada sila kedua, Bung Karno ingin menggunakan kata internasionalisme, ini karena tidak ingin Indonesia tertinggal dari negara lain atau tertinggal dari hak-hak internasional, hubungan antar-manusia, hubungan perkumpulan antar-global. ”Para pendiri bangsa terdahulu ingin negara kita hidup di bangsa modern, kemudian karena persaingan dan perdebatan akhirnya kata internasionalisme ditiadakan dan diubah menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab,” beber Fahri.
Fahri menyebut dalam pembukaan UUD 45 terhadap prinsip memberikan perlindungan terhadap segenap warga Indonesia, banyak orang menginterpretasikan bernegara ini secara totaliter seolah-olah hak negara terhadap warga, sehingga sering dianggap negara lebih penting dibanding warganya. Padahal dalam pembukaan UUD 45 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah, kehadiran bangsa itu untuk melindungi warga.
Baca juga: Film “Kalian Pantas Mati” Rilis Trailer
”Saya tidak melihat kita harus seperti negara lain memiliki kewarganegaraan ganda itu harus otomatis. Itu tidak harus sekarang, paling tidak pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Adanya peristiwa kemanusiaan harus dilindungi oleh negara disebabkan pendirian konstitusional kita, dan pendirian Pancasila, standar demokrasi kita tinggi sekali, karena kita mau menjadi negara kelas dunia,” ucap Fahri.
Pada pengujung Webinar, Nia Ketua APAB yang membacakan titipan pendapat dari perwakilan WGIK IDN Global, Hermansyah, berharap semua dapat membuka mata lebar-lebar, politik hukum Kewarganegaraan tunggal sama sekali tidak dapat dijadikan penghalang atau alasan mengapa Indonesia tidak bisa memberlakukan kewarganegaraan ganda.
Baca juga: Gorontalo Resmi Jadi Tuan Rumah Kejuaraan Asia Mini Football
”Kita berharap semua yang merasa cinta, dan bertanggung jawab akan masa depan Indonesia lebih baik, akan berusaha bersatu meyakinkan publik, tokoh masyarakat, penguasa, dan wakil rakyat untuk menyempurnakan UU Kewarganegaraan menjadi UU Kewarganegaraan berlandaskan, dan melindungi HAM. Di mana, hak untuk berkewarganegaraan ganda diberikan kepada setiap warga negara Indonesia maupun orang asing yang memenuhi persyaratan-persyaratan HAM,” harapnya.
Menjawab pertanyaan peserta, Direktur Tata Negara Ditjen AHU, Baroto, mengatakan menilik perkembangan saat ini, sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi kebutuhan kewarganegaraan ganda kemudian melahirkan PP 21 tahun 2022.
Baca juga: Soegimitro bersama Melisa Saputra Winata dan Jovinus Rico Suguhkan Minuman Kopi Warna Biru
Baroto mengatakan semua idealisme harus diwujudkan dengan proses karena aspek kewarganegaraan bukan hanya satu sisi tapi akan berkaitan dengan banyak aspek misalnya culture, keamanan, dan lain-lain. ”Jadi, harus disuarakan dari berbagai sisi sehingga akan dilihat apakah cocok dengan sistem kewarganegaraan kita. Kami sepakat kewarganegaraan merupakan hak asasi yang harus diperjuangkan sehingga kepastian perlindungan menjadi ada dengan dinamika yang ada kita bisa lebih terbuka, dan mengantisipasi batas-batas negara makin tipis, perkembangan masih harus diantisipasi begitu juga dengan sistem kewarganegaraan itu tidak menjadi sistem pembatas warganya,” ucap Baroto. (abg)