Oleh Dahlan Iskan
“Tahu saya, Taliban itu ya seperti ISIS.”
Itulah jawaban yang dikirim ke WA saya. Pengirimnya seseorang yang sering mengatakan ”Pancasila adalah kita”.
Saya memang bertanya padanyi: “apa yang Anda ketahui tentang Taliban?” Jawabnyi, ya itu tadi, seperti kalimat pertama itu: Taliban sama dengan ISIS.
Saya perlu bertanya karena dia baru saja kirim WA ke saya. “Waduh GAWAT!!!” tulisnyi.
Yang dia anggap gawat adalah Taliban kini kembali menguasai Afghanistan. Tapi yang dia anggap gawat juga ini: salinan komentar Mantan Wapres Jusuf Kalla: “Afghanistan akan lebih baik di tangan Taliban.”
Dia menganggap komentar seperti itu sangat berbahaya. Kok ada tokoh Indonesia begitu pro-Taliban.
Gara-gara komentar itu Jusuf Kalla pun dia beri gelar ”juru bicara Taliban untuk Asia Tenggara”.
Rupanya, selama ini, ia benci Taliban sekaligus benci Jusuf Kalla.
Saya cermati lagi WA yang dikirim ke saya itu. Oh… ternyata itu bukan WA asli buatannyi sendiri. Itu WA yang dia terima dari orang lain. Lalu di-forward ke saya.
Berarti bunyi WA seperti itu sudah beredar luas. Taliban itu ISIS. Dan JK itu pro-Taliban.
Rasanya memang sangat banyak yang punya kesan seperti itu.
Bayangan umum tentang Taliban adalah kekejamannya. Termasuk kekejaman kepada wanita. Luar biasa kejam. Bengis. Brutal. Beberapa film Hollywood juga mengambil tema kekejaman itu.
Saya sudah membaca beberapa novel dengan latar belakang Afghanistan. Yang ditulis novelis Afghanistan yang sudah jadi warga negara Amerika.
Isi novelnya juga seperti itu: zaman pemerintahan Taliban adalah zaman kegelapan Afghanistan. Kejam, bengis, brutal menjadi satu.
Maka ketika hari Minggu kemarin Taliban berhasil menduduki ibu kota Afghanistan, Kabul, bayangan lama itu muncul kembali. Afghanistan akan kembali menjadi negara horor.
Warga berebut naik pesawat untuk bisa meninggalkan Kabul, Afghanistan.
Tanda-tanda bahwa Taliban akan kembali menguasai Afghanistan sebenarnya sudah terlihat sebulan lalu. Satu-per satu kota-kota di Afghanistan bagian utara dikuasai Taliban.
Amerika Serikat pun tahu persis: Taliban akan kembali berkuasa. Mungkin dalam waktu sebulan ke depan. Amerika kelihatannya tidak peduli lagi. Amerika tetap memutuskan menarik semua pasukan dari Afghanistan.
Ternyata perkiraan ”satu bulan” itu salah. Tidak sampai dua minggu seluruh Afghanistan sudah jatuh ke tangan Taliban. Pun ketika masih ada 6.000 tentara Amerika yang lagi menunggu jadwal ditarik pulang.
Sejak dua minggu lalu Amerika juga sudah ”mencicil” menerbangkan orang-orang sipil Afghanistan ke Amerika. Yakni mereka yang memenuhi syarat mendapatkan visa. Sudah 2.000 orang Afghanistan yang mendapat visa Amerika.
Maka hari Minggu kemarin adalah hari tergopoh-gopoh nasional di sana. Tentara Amerika, para diplomat, orang-orang yang sudah mengajukan visa. Semua berbondong ke bandara. Bayangan umum: akan terjadi apa yang pernah terjadi di Saigon tahun 1975. Mereka akan diangkut dengan pesawat meninggalkan Afghanistan dalam keadaan panik.
Di tahun 1975 itu, ketika Vietnam Selatan yang didukung Amerika kalah perang, mereka berbondong ke bandara. Diangkut terbang ke Bangkok –untuk selanjutnya jadi imigran di Amerika. Penguasa baru, komunis dari Vietnam Utara, membiarkan mereka meninggalkan Saigon.
Yang terjadi di Kabul tidak sama. Amerika, yang sudah 20 tahun ”menduduki” Afghanistan, memang kalah. Tapi oleh keputusan Amerika sendiri. Untuk menarik diri dari negara itu.
Keputusan Amerika itu dibuat oleh Presiden Donald Trump, dua tahun lalu. Joe Biden, pengganti Trump, mempercepatnya. Kini Trump berkoar agar Biden mengundurkan diri: membuat Amerika malu. Langkah Biden dianggap menjadi penyebab Taliban kembali berkuasa. Dan itu akan membuat maraknya kembali terorisme internasional.
Yang juga ikut terbirit-birit adalah Presiden Afghanistan hasil Pemilu yang lalu: Ashraf Gani. Ia meninggalkan istana menuju bandara. Lalu terbang ke arah utara: Tajikistan. Gani ingin mengungsi di negara tetangga itu.
Tapi Tajikistan menolak.
Pesawat Gani tidak jadi mendarat di Tajikistan. Pesawat itu belok ke arah barat daya. Menuju Oman. Dari sini Gani akan meneruskan perjalanan ke Amerika.
Amerikalah yang dulu menciptakan Taliban –untuk melawan Rusia yang waktu itu masih bernama Uni Soviet.
Setelah Taliban berkuasa di Afghanistan, jadilah negara itu sarang terorisme internasional.
Amerika pun memusuhi Taliban. Menggulingkan pemerintahannya. Yakni setelah terjadi serangan dua pesawat ke menara kembar New York, 11 September 2010. Yang menewaskan lebih 3.000 orang.
Setelah menguasai Afghanistan, Amerika membangun demokrasi di sana. Mengizinkan banyak partai berdiri. Untuk ikut pemilu.
Tapi tidak pernah ada partai yang berhasil menang. Pemerintahan Afghanistan selalu dibentuk berdasar hasil kompromi yang tidak kukuh.
Politik tidak pernah stabil. Hasil pembangunan juga tidak segera terlihat. Rakyat frustrasi. Mereka juga merasa terhina. Mirip negara jajahan. Rakyat Afghanistan adalah orang yang harga dirinya amat tinggi.
Dari sinilah Taliban kembali mendapat simpati. Terutama ketika muncul pemimpin baru yang berbeda.
Di dalam Taliban sendiri memang terpecah-belah. Terlalu banyak faksi. Salah satunya yang dipimpin Mullah Muhamad Rasul.
Rasul inilah yang membawa Taliban berwajah baru. Rasul berumur 56 tahun. Ia dari daerah selatan, dekat perbatasan Pakistan.
Rasul berasal dari suku Pastun, suku terbesar di Afghanistan. Ia berpikiran moderat. Ia Islam mazhab Sunni.
Taliban versi Rasul ini membawa ideologi Islam-nasional-Afghanistan.
Rasul melarang orang asing menjadi pejuang di Taliban. Tidak seperti Taliban lama. Yang begitu banyak dipegang orang asing. Bahkan pemimpin Taliban dari sayap Al-Qaeda adalah Osama Bin Laden, orang Saudi.
Di tangan Rasul, Al-Qaeda tidak akan boleh beroperasi di Afghanistan. Demikian juga ISIS, dilarang.
Hizbut Tahrir pernah menawarkan sistem kekhalifahan untuk Afghanistan. Rasul menolak.
ISIS juga menawarkan sistem pemerintahan Islamnya untuk Afghanistan. Rasul juga menolak.
Jelaslah bahwa Taliban di bawah Rasul sangat berbeda dengan yang kita kenal di masa lalu.
Taliban yang sekarang ini lebih tepat disebut sebagai nasionalisme Islam Afghanistan. Mereka lebih mencintai Afghanistan dari pada demokrasi Amerika. Mereka lebih mencintai Afghanistan dari pada Islam dari mana pun.
Mayoritas Islam di Afghanistan menganut aliran Deobandi. Aliran ini lahir di kota Deobandi, dekat Mumbai, India. Di zaman dinasti Moghul tahun 1800-an.
Sampai sekarang sekitar 15 persen Islam di India dan Pakistan dari aliran Deobandi. Aliran ini lebih berpegang pada Quran dan Hadis sesuai dengan teksnya. Agak mirip Wahabi. Karena itu Wahabi pernah mewarnai Islam di Afghanistan.
Bahwa Taliban era Rasul ini berbeda, sudah mereka buktikan selama dua minggu terakhir. Perebutan kota-kota di utara itu misalnya, tanpa diwarnai pertumpahan darah. Bahkan ketika mereka merebut ibu kota Kabul, tidak satu pun yang kena tembak.
Media di negara tetangga melaporkan memang terjadi beberapa kasus penjarahan, tapi hanya minor.
Sikap Presiden Gani sendiri mendukung peralihan yang damai itu. Di satu pihak, Gani memang dianggap pengecut. Tapi Gani sendiri berdalih, ia meninggalkan negeri itu agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Para pejuang Taliban itu masuk Kabul memang bersenjata. Ketika mereka memasuki Istana juga dengan senjata lengkap. Tapi mereka hanya mengagumi kehebatan fasilitas di istana itu.
Mereka pun mencoba seluruh sofa yang ada di Istana. Duduk-duduk di situ. Dengan gaya duduk pejuang –sejenak mereka, tanpa aturan protokol Istana.
Sebagian lagi pergi ke gym milik Istana. Para pejuang itu terlihat mencoba alat-alat olahraga di gym itu. Sambil tetap mencangklong senjata.
Mereka menduduki Istana dengan damai. Mereka menjadi penguasa baru. Mereka berjanji akan membentuk pemerintahan inklusi –melibatkan kelompok lain. Mereka juga berjanji menghormati wanita. Mereka ingin Afghanistan maju di tangan bangsa sendiri.
Tiongkok kelihatannya sudah siap untuk digandeng. Keduanya memang berbatasan di salah satu sudut sempit pegunungan mereka.
Amerika sudah tahu semua itu.
Tiongkok juga sudah tahu semua itu. (Dahlan Iskan)