indoposnews.co.id – Gara-gara menulis drh Yuda, saya banyak dimarahi Dewi Kwan Im minggu ini. Terutama ketika saya membuka pantat untuk disuntik protein-sel itu. Syukurlah, yang marah-marah itu rupanya Kwan Im palsu. Bukan Dewi Kwan Im yang saya datangi di Gunung Kawi dua pekan lalu. Atau Kwan Im yang sering saya kunjungi di kelenteng Pantai Kenjeran Surabaya. Saya tahu: Dewi Kwan Im di Gunung Kawi –juga Kwan Im asli lainnya– tidak pernah marah.
Kwan Im memang Dewi yang tidak bisa marah. Tidak mau marah. Kwan Im adalah dewi welas asih. Perusuh Disway juga tidak begitu mempersoalkan soal suntik pantat itu. Yang banyak ditanya: bagaimana rasanya setelah pantat saya disuntik drh Yuda dengan protein-sel itu. Jawab saya: tidak ada rasa apa-apa. Kebetulan saya lagi tidak punya keluhan di bidang kesehatan. Jadinya saya tidak tahu apa perbedaan sebelum dan sesudah disuntik protein-sel.
Pertanyaan terbanyak lainnya: di mana alamat drh Yuda. Mereka akan mencoba suntik protein-sel. Kepada mereka saya selalu menjelaskan: Pak Yuda itu bukan dokter. Beliau itu dokter hewan. Dokter hewan yang hebat. Ahli stemcell yang mau jadi doktor pun Yuda yang menguji. Saya juga jelaskan: kalau ke drh Yuda jangan minta diagnosis. Juga jangan minta diperiksa. Beliau tidak mau melakukan itu. Beliau tahu dirinya bukan dokter.
Baca juga: Status Widi
Maka beliau juga tidak akan bertanya Anda sakit apa. Beliau tidak praktik sebagai dokter. Hanya drh Yuda punya protein-sel. Bikinannya sendiri. Ia bisa dan mau menyuntik Anda dengan suntikan protein-sel tersebut. Istilah ”protein-sel” itulah yang rupanya bisa menimbulkan salah paham. Seorang dokter bertanya: “Cell protein itu cell atau protein? Katanya, cell-nya itu dipisahkan, tidak ikut proses. Prosesnya kultur. Setahu saya (yang bukan biochemist) dikultur itu cell.
Protein tidak bisa dikultur. Penggandaan molekul ada yang disebut PCR. Seperti pada Covid. “Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Awalnya saya sendiri juga punya persepsi seperti dokter bertanya tersebut: menyamakan protein-sel dengan protein biasa seperti protein yang sudah kita kenal. Yakni protein kita konsumsi lewat makanan itu; protein ikan atau protein telur. Sebenarnya dalam tulisan lalu saya sudah menyebut ”protein-sel”.
Artinya bukan protein biasa. Tapi karena ada nama protein di depannya, tetap saja menimbulkan salah pengertian. Melihat banyaknya salah pengertian itu, saya pun mengajukan pertanyaan baru kepada drh Yuda: “Mengapa Anda menggunakan istilah protein-sel? Mengapa tidak pakai nama ilmiahnya saja, sekratom?” Sampai tulisan ini harus dikirim ke Disway, drh Yuda belum memberikan jawaban. Saya pun menghubungi Dr dr Karina yang full keriting itu.
Baca juga: Seksinya Widi
Jelaslah protein-sel dimaksud drh Yuda, menurut Karina, ya sekratom itu. Sekratom itu makanan sel. Nah, guna memudahkan pemahaman disebut saja protein-sel. Yang jelas sekratom bukanlah protein seperti terdapat dalam ikan atau telur. Karina pernah meneliti sekratom untuk pengobatan Covid-19. Belum lagi tuntas sudah heboh besar itu. Di tengah proses penelitian dia sudah dibuat repot oleh pemanggilan-pemanggilan.
Karina diadili sebagai pelanggar prinsip kedokteran. Mungkin justru lebih enak dokter hewan seperti Yuda. Yang lebih bisa bergerak di luar etika dokter. Tentu banyak perbedaan antara Karina dan Yuda. Karina dokter manusia yang pernah menyuntik hewan piaraannyi. Yuda dokter hewan yang banyak menyuntik manusia. Karina cantik, necis, modis. Yuda acak-acakan, cuek, kucel, ngelombrot dengan rambut awut-awutan. Dua-duanya peneliti sel. Dua-duanya doktor.
Karina di UI, Yuda di Korea Selatan. Beda lain antara Karina dengan drh Yuda adalah cara menemukan sumber sekratom itu. Yuda mendapatkan sekratom dari sel yang dibiakkan. Dalam istilah Karina, sekratom itu didapat dari ”kolam sel”. Sel punya ”kolamnya” sendiri. Yang membentuk ”kolam sel” itu adalah sel itu sendiri. Sel manusia itu, kata Karina, selalu memuntahkan cairan. Cairan itulah yang membentuk ”kolam”.
Baca juga: Ungguli Musangking
Ajaibnya, sel hanya bisa hidup di ”kolam” sekratom. Tanpa ”kolam” sekratom sel itu ibarat ikan tanpa air: mati. Atau kurus sakit-sakitan. Drh Yuda mengambil ”air kolam” itu. Tanpa mengikutkan selnya. Itulah sekratom. Dalam istilah drh Yuda disebut ”protein-sel”. “Proses pengambilan sekratom seperti itu mahal sekali,” ujarnyi. Karina, sebagai alumni dokter dan doktor dari Universitas Indonesia, pilih mendapat sekratom dari sumber lain:
Yakni dari trombosit darah. Trombosit itu kalau “dicacah” akan keluar juga sekratom-nya. Sekratom dari trombosit itu digunakan Karina untuk praktik PRP di kliniknya: Hayandra Jakarta. “Mendapatkan sekratom dari trombosit jauh lebih murah,” ujar Karina. Tapi drh Yuda punya cara sendiri. Ia bisa menemukan cara murah mendapatkan sekratom lewat ”kolam sel”. Yuda menjelaskan pada saya: ia bisa memperbanyak protein-sel itu secara kultur.
Tentu ini rahasia peneliti. Sekaligus ilmu tingkat tingginya. Atau, drh Yuda punya penjelasan berbeda. Saya menunggu penjelasan itu. Kemarin malam, selepas dimarahi Kwan Im palsu, saya dimarahi istri: mengapa tidak diajak ke drh Yuda. Padahal, sama-sama di Magelang. Sama-sama senam di Universitas Tidar. Saya merasa bersalah: saya ke Kwan Im dengan membawa bunga dan mempersembahkannya. Mengapa tidak pernah memberi istri bunga. (Dahlan Iskan)