Belakangan, ketika muncul varian Omicron mulailah Tiongkok menyalakan lampu kuning.
Tiba-tiba Omicron muncul di provinsi Jilin di utara. Jilin langsung lockdown. Satu minggu. Beres. Muncul lagi di Tianjin. Langsung menyebar. Sebagian Tianjin di-lockdown. Selesai.
Tiba-tiba Omicron juga muncul di Xi’an –kota terbesar di wilayah Barat Laut. Xi’an pun di-lockdown. Seluruh kota. Panik. Satu minggu. Selesai.
Ternyata Omicron juga muncul di Shanghai.
Mungkin kurang cepat melokalisasi ketika awal muncul di satu distrik. Mungkin juga karena kota Shanghai begitu sibuk dan padat. Omicron telanjur merajalela. Telat. Akibatnya seluruh kota harus lockdown.
Selama dua minggu ini kota Shanghai seperti mati suri. Hanya saja tidak mencekam. Tidak ada mayat yang bergelimpangan. Tidak ada kepanikan. Tidak ada pasien telantar. Tidak ada kesulitan mendapat rumah sakit.
Tidak seperti kota Wuhan di awal pandemi.
Ketika itu Shanghai mengerahkan dokter dan perawatnya ke Wuhan. Kini dokter dan perawat Wuhan balik membantu Shanghai –jaraknya dua jam pakai kereta cepat.
Maka, di setiap pagi, warga Shanghai senang-senang-susah. Senangnya karena bisa keluar kamar: menghirup udara segar.
Bertepatan dengan musim semi yang sejuk. Disertai sinar matahari pagi yang hangat. Meski itu tidak lama. Hanya sambil menunggu hasil tes. Duh, musim semi. Kalau saja tidak ada PPKM di sana.
Susahnya, kalau ternyata positif. Harus langsung diangkut ke karantina. Sesusah-susah tidak boleh keluar rumah lebih susah di karantina. Apalagi anjing mereka tidak boleh ikut ke karantina: lantas siapa yang memberi makan.