Setiap pagi ada petugas yang berjalan di lorong di setiap lantai. Petugas itu membawa toa: halo-halo. Untuk menyerukan agar masing-masing membuka kamar. Dan stand by di depan pintu. Petugas akan membawa mereka turun ke lantai bawah.
Bagi yang pintunya belum dibuka, petugas akan mengetuk pintu dengan keras. Ketukan berubah seperti gedoran: kalau penghuni rumah belum muncul di pintu. Gedoran tidak akan berhenti sampai penghuni merespons.
Mereka digiring ke bawah. Ke sebuah tenda di halaman kompleks apartemen. Bergilir. Dengan jarak yang diatur. Harus pakai masker. Harus membawa HP –untuk menerima perintah lewat ”PeduliLindungi” versi sana.
Pagi itu mereka dites. Di tenda itu. Yang negatif langsung kembali ke apartemen. Mengunci diri lagi di dalamnya. Sampai ada toa yang meneriakkan panggilan berikutnya keesokan harinya.
Bagi yang positif langsung dikirim ke karantina.
Rutinitas pagi seperti itu dilakukan di seluruh apartemen di seluruh Shanghai. Tak terbayangkan itu bisa dilakukan di negara lain.
Dari situlah diketahui: Omicron menyebar sangat cepat di Shanghai. Sehari bisa 15.000 kasus. Lalu jadi 26.000.
Terpaksa di-lockdown total. Padahal tidak begitu bahaya. Tingkat kematiannya hampir 0. Tapi Tiongkok belum mau berubah dari kebijakan lama: zero tolerance.
Itu memang pernah sukses besar. Selama dua tahun berjalan. Kasus baru Covid di Tiongkok yang terendah di dunia. Hanya belasan setiap hari –di saat negara lain puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.
Sampai hari kemarin total penderita Covid di Tiongkok ”hanya” 168.000 kasus. Padahal penduduknya antara 1,3 sampai 1,4 miliar. Betapa rendah kasus Covid di sana. Pun yang meninggal dunia: ”hanya” 1.500 orang.
Tiongkok di urutan 115 di antara semua negara. Indonesia masuk 18 besar dunia: 6 juta penderita, 155.000 meninggal dunia.
Ketika kita masih PPKM, Tiongkok sudah praktis bebas Covid. Ketika kita diserang varian Delta yang begitu berat, Tiongkok nyaris tidak terkena. Kalau pun ada kasus baru umumnya kasus impor. Langsung bisa dilokalisasi.