indoposnews.co.id – PUBLIK terbelah. Ada yang ingin Menko Polhukam gebrak terus dan ada yang ingin ”selesaikanlah secara internal”. Pendapat terakhir itu muncul lantaran Mahfud MD bagian dari pemerintah. Bahkan seorang Menko. Ketua Komite Pencegahan TPPU pula. Pendapat pertama juga kenceng: kalau saja Mahfud tidak buka habis soal Rp349 triliun itu bisa jadi hanya sebagian yang ditangani. Sebagian lagi akan tertutup ramainya THR.
Tentu ada yang bilang konflik antara Kemenko dan Kemenkeu ini seperti gajah lawan gajah. Dan yang kalah DPR. Setidaknya kalah citra. Maka banyak juga memuji Mahfud MD: sekali tembak pelurunya mental ke sasaran lain. Saya mengikuti perkembangan terakhir ribut 349 itu dari jauh. Kelihatannya akan diselesaikan secara adat. Diadakan rapat koordinasi. Mahfud memimpin rapat itu. Sebagai ketua Komite Pencegahan TPPU. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menkeu Sri Mulyani hadir.
Kepala PPATK dan Ketua OJK juga hadir. Bahkan mengikutkan eselon satu di masing-masing lembaga. Kesimpulan rapat, Anda sudah tahu: “Tidak ada perbedaan angka”. Baik yang 349 maupun 189. Kesimpulan lain: sebagian sudah ditangani, sebagian lagi akan terus ditangani. Soal 189, ujar Mahfud, sudah dibawa ke ranah hukum. Bahwa pemerintah kalah di pengadilan, Mahfud mengatakan akan dilakukan upaya lain: case building. Anda pun sudah tahu apa itu case building.
Baca juga: Trump Tuai Badai Karma
Kasus itu akan dikaji ulang. Distrukturkan. Dianalisis. Dicarikan argumen yang baik agar pemerintah menang. Pokok persoalannya: mengapa ekspor emas yang lalu-lintas transaksinya melibatkan 15 perusahaan dengan nilai agregat sampai Rp189 triliun itu tidak dipungut bea. Anda sudah tahu jawabnya: eksporter mengatakan yang diekspor itu emas perhiasan. Beanya 0 rupiah. Pemerintah menilai itu emas wungkul. Harus bayar bea.
Akhirnya berlarut. Sampai ke pengadilan. Pun sampai tingkat terakhir: PK. Pengusahanya yang menang. Dalam case building itu nanti soal cerita tidak lagi penting. Sudah jelas. Yang penting adalah: bagaimana menyusun argumen jitu. Bisa jadi dalam proses peradilan lalu penyusunan argumennya kurang cerdas. Atau tidak punya argumen sama sekali. Bahkan bisa jadi sengaja dibuatkan argumen tidak kuat agar pengusaha menang. Dan jelas pemerintah, BUMN, sering kalah logistik di pengadilan.
Swasta bisa membukukan pengeluaran siluman lewat cara memutar. Pemerintah, BUMN, tidak punya pos siluman dalam anggaran beperkara. Kalau ada anggaran siluman itu untuk keperluan berbeda. Dalam rapat koordinasi di PPATK itu, hadir juga menteri hukum dan hak asasi manusia. Adakah kementerian itu, akan memproses case building? Atau Kejaksaan Agung? Polri? Atau Kemenko sendiri? Tentu tidak mudah melakukan case building ini.
Baca juga: Tarian Mahfud MD
Juga, jangan-jangan tidak cukup waktu lagi di sisa masa jabatan pemerintahan sekarang ini. Apalagi perkaranya sudah diputus pengadilan sampai tingkat paling arsh: Peninjauan Kembali. Yang masih cukup waktu adalah melaksanakan putusan rapat yang satunya: yang belum ditangani akan terus ditangani. Yang mana? Pak Menko menyebutkan secara umum: yang di Kemenkeu maupun di aparat penegak hukum. Tanpa rincian. Maka rapat dengar pendapat di Komisi III berikutnya masih akan seru.
Harus ada pendalaman soal yang tersisa itu. Seru tapi tidak akan gaduh lagi. Di sisi pemerintah sudah terkoordinasi. Kecuali ada anggota Komisi III yang balik menyerang Pak Mahfud. Tapi saya perkirakan tidak. Mungkin tidak berani lagi. Mahfud bisa balik menyerang. Ia punya banyak bahan. Ia tidak takut. Ternyata betul. Ketika saya selesai menulis naskah ini, rapat dengan Komisi III sudah berlangsung. Baru saja. Rapatnya aman-aman saja. Sangat kondusif dan konstruktif.
Kalau toh harus menyerang Mahfud, baiknya pakai cara lucu-lucu. Seperti dilakukan Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul. Dari PDI-Perjuangan itu. Ia menyerang tapi sangat menghibur. Ia menganggap Mahfud salah sasaran ketika minta Komisi 3 meloloskan rancangan UU penyitaan aset di perkara TPPU. Kelucuan itu tidak perlu saya ulang di sini: air mata Anda kan sudah habis berderai-derai waktu menonton videonya. Saya sendiri menonton sampai tiga kali.
Baca juga: Sodokan Mahfud
Bambang itu santai. Sejak dulu begitu. Saya tidak pernah merasa diserang ketika, kala itu, begitu banyak anggota Komisi VII yang… yah… begitulah. Sejak itu saya sudah tahu kenapa Bambang Wuryanto ini dipanggil Bambang Pacul. Di sekolahnya dulu, di Jawa Tengah, ada lima murid bernama Bambang. Di satu kelas. Untuk membedakan mereka, diberilah nama panggilan simpel khas desa. Kebetulan orang tua Bambang punya sawah luas. Pacul-nya (cangkul) banyak sekali.
Tiap selesai dipakai, Pacul itu ditaruh berjajar dengan tampilan atraktif. Dari situ muncul nama julukan Bambang Pacul. “Tidakkah berisiko bikin lelucon politik yang sensitif seperti itu?” tanya saya kepadanya, lewat WA. “Tidak ditegur atau dimarahi ketua umum? Aman?” tanya saya lagi. “Aman soLeman Pak MenTeri….,” jawabnya. Tentu Bambang Pacul akan bisa jadi faktor peregang kalau rapat di Komisi III nanti tegang. (Dahlan Iskan)