indoposnews.co.id – BINTANG positif. Bintang negatif. Indonesia juga jadi bintang besar di Dialog (pertahanan) Shangri-La pekan lalu. Jenderal bintang tiga Prabowo Subianto jadi salah satu dari tiga bintang di hotel Shangri-La Singapura itu. Pidatonya menyentak. Tidak hanya basa-basi diplomasi. Isinya pun konkret. Terlalu konkret. Ia usulkan perdamaian model baru di Ukraina. Tiga langkah: lakukan gencatan senjata, ciptakan zona tanpa militer masing-masing sejauh 50 km.
Lalu, lakukan referendum di wilayah Ukraina yang sekarang dikuasai Rusia. Semua itu, kata Prabowo, harus atas prakarsa Perserikatan Bangsa-bangsa. “Jangan ada lagi perang. Bangsa Asia sudah kenyang menderita karena perang. Tanya Vietnam. Kamboja. Indonesia sendiri,” kata Prabowo. Mendengar pidato Prabowo itu Eropa seperti digigit serangga: itu sama saja dengan Ukraina diminta menyerah. Eropa tidak bisa menerima usul perdamaian seperti itu. Sebaliknya Tiongkok. Senang.
Dunia memang seperti terbelah: Barat menolak, Timur menerima. Apakah juga usulan seperti itu yang lagi ditawarkan Tiongkok? Belum tentu. Bahwa Tiongkok senang, setidaknya sudah ada usul yang berbeda dengan pendapat Barat yang kaku: Rusia harus mundur dari Ukraina (bahkan termasuk dari Crimea). Lalu Rusia harus diadili sebagai penjahat perang. Rusia juga harus membayar seluruh kerugian perang –termasuk biaya rehabilitasi fisik-nonfisik di Ukraina.
Baca juga: Jenderal Hilirisasi
Barat dan Timur juga berbeda dalam melihat skala perang di Ukraina. “Ini masalah internal Eropa,” ujar Barat. “Ini masalah global,” ujar Timur. Prabowo menyampaikan pidato berbahasa Inggris. Pakai teks. Sesekali tanpa melihat kertas. Ia pakai jas dan kopiah. Suaranya menggelegar seperti suara orang setengah marah. Menteri Pertahanan Tiongkok Li Shangfu pakai bahasa Mandarin. Pakai baju militer. Li menolak bertemu menteri pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin.
Tapi Li, ternyata mau bertemu menteri pertahanan Australia. Juga bertemu menteri pertahanan Ukraina. Menhan Amerika, Tiongkok, dan Australia lebih fokus ke soal Taiwan. Justru Indonesia membuat Ukraina jadi fokus. Prabowo menganggap perang Ukraina sebagai masalah global. Dampaknya mendunia: harga energi dan pangan melonjak di semua negara. Josep Borrell mewakili Eropa tampil tepat setelah Prabowo. Borrell langsung berkomentar atas usulan Indonesia.
”Damai itu ya damai. Just damai. Bukan damai lewat penyerahan diri,” katanya. Menhan Ukraina Oleksii Reznikov, juga diundang ke Singapura. Tentu ia marah dengan proposal Prabowo. “Tapi saya mencoba untuk sopan. Usulan itu kelihatannya seperti proposal dari Rusia,” ujar Reznikov. Ia lantas seperti bosan dengan sopan. “Kami tidak memerlukan mediator yang hanya membawa usulan yang aneh,” katanya. Di dalam negeri tokoh PDI-Perjuangan seperti Hasanuddin mempertanyakan:
Baca juga: Elingpiade Antik
Apakah referendum itu usul resmi Indonesia. Juga, apakah sudah dibicarakan dengan menteri luar negeri. Tentu Dialog Shangri-La hanya sebatas dialog. Bukan forum resmi. Ini dialog masalah pertahanan. Pemrakarsanya pun swasta –sebuah lembaga think-tank Singapura. Bersamaan dengan dialog itu kapal perang Amerika melintas di selat Taiwan. Kapal perang Tiongkok membuntutinya. Rusia sedang meningkatkan serangan di Ukraina. Yang diserang masih terus membalas.
Sejauh ini memang baru Tiongkok yang serius mengupayakan jalan damai. Utusan khusus Tiongkok mondar-mandir ke lima negara: Polandia, Jerman, Prancis, Ukraina, dan Rusia. Dari situ Tiongkok akan merumuskan usulannya. Utusan khusus itu bernama Li Hui. Umur 70 tahun. Fasih berbahasa Rusia. Ia memang 10 tahun menjabat duta besar Tiongkok di Moskow. Begitu istimewa. Saya belum pernah mendengar ada duta besar dengan masa jabatan 10 tahun.
Media di Tiongkok menyebutkan prestasi lain: selama Li Hui menjadi duta besar, Presiden Vladimir Putin 10 kali ke Tiongkok. Presiden Xi Jinping 8 kali ke Rusia. Volume perdagangan kedua negara meningkat lima kali lipat. Itu bisa dikatakan sebagai hasil kerja Li Hui. Ketika pertama ditugaskan ke Rusia memang itulah misinya: membuat hubungan kedua negara membaik. Saat itu Li Hui menghadapi kenyataan yang berat. Hubungan Tiongkok dan Rusia sangat tegang. Soal Vietnam. Hampir saja pecah perang.
Baca juga: Rania Lindi
Rusia-Tiongkok tidak punya masalah perbatasan. Tiongkok memang mencatat dalam sejarahnya: sebagian wilayah Rusia di dekat Heihe itu adalah wilayahnya. Hampir seluas Vietnam. Wilayah itu dikuasai Rusia dalam perang masa lalu tapi Tiongkok sudah tidak mempersoalkan. Hanya mencatatnya. Tiongkok juga mengabadikannya dalam museum perang di dekat kota Heihe. Saya dua kali ke Heihe. Jauh di Tiongkok utara. Termasuk ke museum perang itu.
Saya juga berperahu di sungai besar yang perairannya dibagi dua. Perahu kami hanya boleh berada di air sebelah sini. Sambil da-da ke orang-orang Rusia yang berperahu di air sebelah sana. Apakah Li Hui akan memihak Rusia? Itulah yang dikhawatirkan Barat. Tapi sebelum jadi duta besar, Li Hui adalah direktur urusan Eropa Timur di Kemenlu Tiongkok.
Ia dikenal baik di negara seperti Polandia dan Ukraina. Xi Jinping berharap banyak padanya. Juga kita semua. Satu perang di Ukraina saja dunia sudah cawe-cawe –ups, sudah gonjang-ganjing. Bagaimana pula kalau perang di Taiwan juga meledak. (Dahlan Iskan)