Indoposonline.NET – Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan membeber perbedaan Garuda Indonesia (GIAA) dan Thai Airways. Dua perusahaan itu, sama-sama memiliki persoalan keuangan. Ya, sama-sama megap-megap. Kembang-kempis. ”Itulah Thai Airways. TG. Milik Thailand. Bedanya, Thai Airways sudah membuat keputusan membawa masalahnya ke PKPU-nya Thailand,” tutur Dahlan seperti disitir dari laman disway.id, Senin (7/6).
Sidang PKPU untuk Thai Airways sudah berlangsung dan siap diputuskan. Tapi, para kreditor masih menyusulkan pendapat dan pengadilan setuju untuk mendengar pendapat susulan itu. Sehingga putusan PKPU dari perusahaan Maskapai asal Negeri Gajah itu dimundurkan ke 15 Juni 2021. ”Garuda melayang-layang dengan benang putusnya. Thai Airways tinggal tunggu sepuluh hari lagi,” imbuhnya.
Baca Juga: Pangkas Utang jadi USD1-1,5 Miliar, Garuda Bisa Jalankan Skema Ini
Perbedaan lain, pemerintah Thailand sudah memutuskan tidak akan menginjeksi lagi Thai Airways. Sudah tidak menjadi pemegang saham mayoritas sejak tiga tahun lalu. Sehingga pemerintah Thailand melakukan divestasi saham dari 51 persen menjadi 47,8 persen. “Dengan divestasi itu, pemerintah mengeluarkan Thai Airways dari daftar BUMN. Divestasi itu dilakukan dengan cepat. Saat itu, status TG sudah seperti GA sudah melantai di pasar modal. Tidak rumit mendivestasi saham di pasar modal,” tegas Dahlan.
Utang Thai Airways sangat besar, bahkan lebih dari Rp100 triliun. Artinya, besar utang maskapai negara tetangga itu melampaui utang Garuda Rp70 triliun. Berbagai upaya penyelamatan perusahaan dilakukan. Misalnya, menghapus jalur rugi, memotong gaji, dan jumlah pegawai. ”TG sudah tidak punya lagi rute penerbangan ke Amerika. Padahal, dulu, TG itu gagah sekali. Jauh lebih gagah dari GA. Sang TG pernah punya penerbangan nonstop jarak jauh dari Bangkok ke New York. Juga dari Bangkok ke Los Angeles,” urainya.
Baca Juga: Garuda Masker Lima
Thai Airways, sebenarnya sudah berupaya menyelesaikan utang di luar pengadilan. Kreditor juga setuju utang harus direstrukturisasi, bunga harus dipangkas, jangka pengembalian harus diperpanjang, dan beberapa aset harus dijual. Untuk merestrukturisasi utang itu, para kreditor sudah menunjuk wakil bisa diterima semua pihak, yakni seorang mantan menteri dan seorang mantan dirut pernah membawa maskapai itu memperoleh laba.
Bangkok Bank juga telah mengirim wakil ke tim negosiasi itu. ”Tapi persoalan TG sudah terlalu berat. Maka direksi TG membawanya ke PKPU-nya Thailand. Momentum Covid-19 itu, dimanfaatkan untuk melakukan penyelesaian tuntas. Padahal, sebelum Covid-19 TG sudah sempoyongan,” beber Dahlan.
Baca Juga: Menteri BUMN Evaluasi Rekanan Garuda
Thai Airways belakangan terus merugi dan kerugian itu, terus membesar hingga sekitar Rp7 triliun tahun lalu. Karena itu, perseroan melakukan langkah penghematan. Misalnya, mengurangi jumlah pesawat sewa, dan jumlah karyawan. Di saat bersamaan, juga diberi misi mendukung pariwisata dengan menerbangi berbagai rute di Thailand.
Meski begitu, besarnya misi maskapai tersebut tidak membuat pemerintah setempat mau menyelamatkan melalui suntikan dana. Nah, direksi Garuda sebaiknya juga jangan memimpikan keindahan uang pemerintah. Biar masih mayoritas, tetap saja pemerintah hanya mayoritas tipis di Garuda. ”Jadi, kapan soal GA diputuskan: harus lewat jalan yang mana?” (abg)