indoposnews.co.id – DIA berhenti dari jabatan begitu tinggi: Deputi Ekonomi Kepala Staf Kepresidenan. Dia ingin konsentrasi penuh di lembaga baru: Kartu Prakerja. Dia jadi sasaran digebuki. Dari segala arah. Tapi dia meyakini sejak awal: misi Kartu Prakerja sangat mulia. Namanyi: Dr Denni Puspa Purbasari. Setelah lulus dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Denni ke Amerika. Ke Boulder, ke University of Colorado. Sebelum itu ke Urbana. Ke University of Illinois, dekat Chicago.
Denni, anak Semarang ini, mendapat gelar master ekonomi di sana (Illionis). Berarti Denni satu almamater dengan Menkeu Sri Mulyani. Caranyi bicara, kecepatannyi merespons, cara berpikirnyi mirip Sri Mulyani. Denni seperti mendapat Piala Citra ketika akhirnya ada tokoh dunia memuji Kartu Prakerja: Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti dari Belanda. Sang ratu menjabat sebagai advokat khusus Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Inklusi Keuangan.
Pujian itu disampaikan di forum B20 Bali. Yakni forum bisnis yang menyertai KTT G20 di pulau Dewata itu. Ratu Maxima tahu: sampai November lalu sudah 16,4 juta orang memanfaatkan Kartu Prakerja. Mereka datang dari 514 kabupaten/kota. Lebih banyak lagi sudah mendaftar tapi belum bisa dilayani. Email mendaftar 99 juta tapi lengkap semua data diri diverifikasi, 45,2 juta. Jumlah dan jenis kursus di Kartu Prakerja ternyata juga sangat banyak.
Baca juga: Perang Terbuka
Lebih dari 1.200 jenis pelatihan. Praktis, mau kursus apa pun ada di situ. Kursus masak, misalnya, sampai puluhan macam. Demikian juga kursus kecantikan. Pun masalah keuangan, marketing sampai teknik. Melihat hebohnya dulu, Kartu Prakerja ini saya pikir akan gagal. Ternyata laris sekali. Bahkan sejak malam pertama. Denni bercerita penyiapan teknis program itu terlalu pendek. Denni hanya diberi waktu 3 minggu. Organisasi belum ada.
Programmer belum direkrut. Apalagi kantor. Justru itu membuat Denni nekat. Begitu diangkat jadi korlap program itu, dia mundur dari deputi KSP. Jabatan resminyi menjadi: Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja. Di bawah Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan. Seperti halnya Sri Mulyani, Denni berambut pendek. Bahkan lebih pendek. Sejak kapan? “Rasanya saya tidak pernah punya rambut panjang… hahaha,” kata Denni.
“Kalau berambut pendek lupa sisiran masih tolerable,” tambahnyi. Denni lantas meneguhkan diri: inilah saat tepat cuti sebagai akademisi. Untuk sepenuhnya memperdalam dunia nyata. Sangat menantang. Denni mencari siapa akan bertanggung jawab pada masalah teknologinya. Dia temukan Hengki Sihombing. Ia eksekutif bidang IT grup Sinar Mas. Hengki melahirkan startup. Jadi Hengki Direktur Operasional dan Teknologi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja.
Baca juga: Alvin Kuya
Dalam tiga minggu program sudah harus jalan. Malam pertama diluncurkan, ternyata langsung meledak. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan pukul 19.00 WIB. Malam itu, sebelum tengah malam, sudah 3 juta pendaftar. Hengki harus menambah terus kapasitas server-nya. Untung tidak sempat jebol. “Setiap ada laporan mulai melambat, langsung tambah server,” ujar Hengki. Tentu tidak semua pendaftar bisa diterima.
Jumlah pendaftar jauh melebihi kapasitas anggaran. Maka pendaftar memiliki bobot tertinggi diterima lebih dulu. Yang terkena PHK memiliki bobot lebih tinggi. Sebelum itu, telah ditentukan dulu kuota per provinsi. Itu disesuaikan dengan jumlah penduduk, jumlah penderita Covid-19, dan jumlah penganggur termasuk terkena PHK. Maka dari pendaftar tiap provinsi, dilihat dulu siapa terkena PHK, muda, dan kriteria lain. Masing-masing ada bobotnya.
Sampai jumlahnya memenuhi kuota per-gelombang. Sekarang ini misalnya, sudah melakukan pelatihan gelombang ke-47. Itu gelombang terakhir tahun ini. Satu gelombang ini yang diterima 1,4 juta peserta. Jumlah penerimaan tiap gelombang tidak sama. Tergantung alokasi anggaran tersedia saat itu. Yang jelas sampai dengan November lalu sudah 16 juta lebih memanfaatkan Kartu Prakerja.
Baca juga: Nasib Satdion Qatar
Tiap orang mendapat jatah kursus senilai Rp1 juta. Peserta sudah mendapat pelatihan diberi dua hal: sertifikat dan uang insentif. Sertifikat diberikan secara digital tapi bisa dicetak sendiri-sendiri. Sedang uang insentif Rp2,4 juta. Tidak dibayarkan sekaligus, melainkan 4 kali (4 bulan). Di lain pihak, siapa pun yang punya lembaga kursus bisa mendaftar ke Kartu Prakerja. Tentu lembaga pelatihan tersebut harus ikut seleksi. Y
ang melakukan seleksi tim universitas terkemuka seperti UGM, Unair, UI, Atma Jaya, dan lain-lain. Begitu lembaga kursus lolos seleksi, boleh ”menjual diri” di lapak yang juga sudah lolos seleksi. Tokopedia, Bukalapak, Sisnaker, Pijar, Karier.mu, dan Pintar. Peserta Kartu Prakerja bebas memilih kursus apa, di lembaga kursus yang mana, lewat aplikasi yang tersedia. Peserta bebas menggunakan jatah biaya kursus Rp1 juta tadi.
Boleh pilih kursus termahal, boleh juga termurah. Sebaliknya, lembaga kursus. Mereka bersaing. Lebih baik, lebih murah. Di awal program sampai ada lembaga kursus hanya pasang tarif Rp50 ribu per orang. Yakni untuk kursus online selama dua jam. Sekarang standar pelatihan dinaikkan menjadi minimal 6 jam. Yang menawarkan harga begitu murah itu mungkin berpikir untuk mengejar peserta sebanyak-banyaknya.
Baca juga: Korban Gempa Cianjur
Kalau misalnya bisa meraih 5.000 peserta, lumayan juga: Rp250 juta. Sebaliknya ada lembaga kursus tarifnya Rp250 ribu per orang. Pesertalah menentukan pilih mana. Di situ terjadi mekanisme pasar hampir sepenuhnya. “Ada peserta pintar sekali. Dia bisa menggunakan jatah Rp1 juta itu untuk 18 kursus,” ujar Denni. Kok bisa? Bisa! Persaingan antar-lembaga kursus itu menawarkan banyak potongan harga. Juga ada yang memberi bonus tambahan kursus.
Tentu ada juga hanya mengharapkan insentif Rp2,4 juta tanpa mau belajar. Maka ia hanya ikut satu kursus. Katakanlah tarifnya Rp250 ribu. Berarti jatah kursusnya masih tersisa Rp750 ribu. Apakah sisa jatah kursus bisa dicairkan? “Tidak bisa,” ujar Denni. “Sisa uang itu kembali ke Bu Sri Mulyani,” tambahnyi. Pilihan kursus paling laris digital marketing, membuat makanan, kecantikan. Peserta ambil kursus biasanya langsung ingin berjualan.
Melihat begitu banyak peminat Kartu Prakerja saya langsung berpikir: program ini bisa diteruskan. Siapa pun presidennya kelak. Inilah salah satu warisan baik Presiden Jokowi. Seperti halnya Presiden Jokowi juga mewarisi program baik BLT dari pemerintahan sebelumnya. Seperti BLT, Kartu Prakerja juga dimulai dengan kontroversi yang luar biasa. Sama-sama dicurigai berbau politik kepentingan. Toh akhirnya sangat baik.
Baca juga: Para Pengabdi
Penerus program ini kelak malah tinggal menikmati hasil positifnya. Semua yang pahit-pahit sudah dilewati. Kesalahan-kesalahan awal sudah diperbaiki. Sukses Kartu Prakerja ini rasanya membuat ada pola lama langsung tidak relevan lagi: Balai Latihan Kerja (BLK). Rasanya kalau program Kartu Prakerja ini kian matang, BLK bisa diakhiri. Kartu Prakerja diberi anggaran Rp20 triliun per tahun.
Lewat mekanisme IT seperti Kartu Prakerja rasanya seluruh anggaran bisa langsung sampai ke penerima manfaat. Tidak banyak dana habis untuk membiayai operasional organisasi. “Apakah kelak akan kembali menjadi dosen?” tanya saya pada Denni. “Pasti. Namun ingin menuntaskan program ini dulu,” katanyi. “Ini kan pekerjaan dosen juga, hanya beda cara,” kata Denni.
“Tapi, kenapa sih diberi nama Denni? Yang mengesankan laki-laki?” tanya saya. “Mungkin saya bukan anak wanita yang dikehendaki…” kata Denni lantas ngakak. “Banyak yang memanggil saya ”bapak” saat mulai bicara di telepon untuk kali yang pertama”. “Anda merasa agak tomboy?” “Sangat! Hahaha… “. (Dahlan Iskan)