indoposonline.net – Lamaran Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar yang di siarkan secara live di salah satu stasiun televisi menui pro dan kontra. Lamaran yang digelar pada sabtu, 13/2/2021 tersebut disayangkan oleh Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP)
“Asumsinya begini, kalau di YouTube (tayang) terserah (durasi), ini frekuensinya kan terbatas. Ini kan sumber daya alam milik negara yang digunakan. Boleh saja infotainment tayang, tapi proporsional,” jelas Bayu Wardhana dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran dilansir dari antara, Sabtu (13/3/2021).
Bayu menyanyangkan jika Lamaran Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar disiarkan secara berlebihan. Seharunya informasi mengenai kepentingn public menjadi priotitas utama. “Seharusnya bisa dilakukan yang lain, apalagi di situasi pandemi, mestinya untuk informasi pandemi, seperti vaksin,”katanya.
Dia berharap Komisi Penyiaran Indonesia bisa mencegahnya sejak awal. Bukan setelah tayang, penyiaran tersebut dilarang. ”Itulah mengapa kami menyayangkan,” tutur Bayu.
Dalam pernyataan resmi, Komisi Nasional Reformasi Penyiaran yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, sekitar 160 akademisi dan penggiat masyarakat sipil, menyatakan sikap menolak keras rencana seluruh penayangan yang tidak mewakili kepentingan publik secara luas meski menggunakan frekuensi milik publik.
“Padahal jelas-jelas isi siaran melanggar hak-hak masyarakat untuk mendapatkan tayangan yang lebih berkualitas,” kata KNRP.
Selanjutnya, KNRP menyesalkan KPI tidak mau bertindak sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 11, yang berbunyi “Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik” dan Standar Program Siaran Pasal 13 Ayat 2 yang menyatakan, “Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik.”
KNRP juga menyesalkan sikap KPI yang abai terhadap keberatan dan kritik masyarakat melalui media sosial, hanya pasif menunggu aduan di saluran pengaduan resmi KPI. “Bukankah seharusnya KPI yang mewakili kepentingan masyarakat tidak perlu menunggu aduan resmi publik apabila secara nyata dan jelas-jelas melihat pelanggaran frekuensi publik di depan mata?” tulis KNRP. (kar)