Indoposonline.NET – PT Garuda Indonesia (GIAA) tengah terjerat utang dan ancaman likuidasi. Efeknya, sejak awal 2021, harga saham emiten aviasi itu merosot 40,3 persen. Awal tahun saham maskapai penerbangan plat merah itu bertengger di kisaran Rp440 per lembar, kemudian pada Senin (7/6) melorot ke level Rp240 per saham.
Saat ini, banderol saham Garuda terendah sejak 4 November 2020. Kala itu, harga berada di kisaran Rp238 per saham. Sejak pandemi Covid-19 melumpuhkan bisnis maskapai seluruh dunia, harga saham Garuda pernah lebih rendah.
Baca Juga: Sehatkan Keuangan, Garuda Indonesia Percepat Pengembalian Armada Sewaan
Pada penutupan perdagangan 23 dan 24 Maret 2020, saham Garuda pernah ditutup di level Rp150 per lembar. Harga tersebut merupakan yang terendah, bahkan sejak Garuda melantai di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011. Saat itu harga penawaran tercatat Rp 750 per saham.
Menilik kondisi itu, saham Garuda tidak pernah masuk rekomendasi para analis. Garuda bukan BUMN andalan mendulang untung secara konsisten. Bisnis Garuda bukan untuk tumbuh secara menguntungkan setiap tahun, melainkan sebagai maskapai unggulan negara. ”Ya, bisnis Garuda harus disubsidi pemerintah, karena ini bagian dari industri carrier membawa nama negara,” tegas Senior Vice President Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial.
Baca Juga: Garuda Indonesia Bangkrut, Dahlan Iskan Bilang Gini
Saat ini, kondisi Garuda sangat berat. Maskapai pemerintah itu, perlu melakukan banyak restrukturisasi. Misalnya, restrukturisasi rute luar negeri, domestik, dan restrukturisasi neraca keuangan. Pemberat bisnis Garuda yaitu tahap pembukaaan aktivitas ekonomi Indonesia masih lama. ”Jadi, prospek Garuda berat. Rekomendasi saya netral,” ucapnya.
Koreksi harga saham juga dianggap merugikan pengusaha kakap CT Corps, Chairul Tanjung. Melalui entitas usaha, PT Trans Airways, mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu, diklaim rugi Rp11,2 triliun karena berinvestasi di Garuda Indonesia. Itu disampaikan Komisaris Garuda Peter F. Gontha, perwakilan Chairul Tanjung.
Baca Juga: Respons Pensiun Dini, Ini Sikap Serikat Karyawan Garuda Indonesia
Peter Gontha, menjelaskan saat proses initial public offering (IPO), Chairul Tanjung diminta tolong membeli saham Garuda dari sekuritas bertindak sebagai underwriter, yaitu PT Mandiri Sekuritas, PT Bahana Securities, dan PT Danareksa Sekuritas karena dinilai gagal.
Saat itu, Chairul Tanjung menyetor dana USD250 juta atau setara Rp2 triliun (asumsi kurs saat itu Rp8.000 per dolar). Kala itu, Trans Airways membeli 10,88 persen saham Garuda pada harga Rp625 per lembar atau di bawah harga IPO Rp750 per lembar. ”Sekarang sudah Rp 256. Silahkan hitung, tapi menurut saya dalam kurun waktu 9 tahun, kerugian CT sudah Rp11,2 triliun, termasuk bunga, belum hitung inflasi,” beber Peter. (abg)