indoposnews.co.id – Selama disrupsi dan ketidakpastian ekonomi tiga tahun terakhir, bicara resiliensi, 53 persen eksekutif mengakui perusahaan tidak berada pada posisi ideal. Itu salah satu temuan utama survei bisnis global SAS, pemimpin analitik.
Prinsip Resiliensi mengeksplorasi kondisi ketahanan bisnis saat ini, dan langkah apa diambil perusahaan dalam industri layanan keuangan, ritel, manufaktur, perawatan kesehatan, dan pemerintah untuk menavigasi arah perubahan dan memanfaatkan peluang.
Baca juga: Bantu Pelajar Meraih Pekerjaan Impian, SAS Sodorkan Program Terbaru
SAS telah mengembangkan Instrumen Asesmen Resiliensi terbaru untuk melengkapi laporan tersebut. Instrumen asesmen gratis secara daring itu memungkinkan para pemimpin bisnis menilai ketahanan perusahaan sendiri berdasar lima prinsip inti resiliensi.
SAS menyurvei 2.414 eksekutif senior perusahaan seluruh dunia dengan lebih dari 100 karyawan. Sebanyak 70 persen responden optimistis masa depan perekonomian negara, dan 80 persen saat ini berinvestasi pada perencanaan, dan strategi resiliensi. Riset ini, menunjukkan kesenjangan antara hal-hal penting dimasukkan para eksekutif dalam kategori resiliensi, dengan seberapa tangguh sebenarnya perusahaan mereka.
Baca juga: SAS Global Divestasi 190 Juta Saham SLJ Global
Berdasar data survei, hampir semua (97 persen) eksekutif percaya resiliensi sangat atau agak penting, namun kurang dari setengah (47 persen) menganggap perusahaan mereka tangguh. Sekitar setengah (46 persen) mengakui tidak siap menghadapi disrupsi, dan kesulitan mengatasi tantangan seperti keamanan data 48 persen, produktivitas 47 persen, dan mendorong inovasi teknologi 46 persen.
Meski kesenjangan resiliensi realitas saat ini, tetapi 81 persen responden yakin resiliensi dapat dicapai dengan panduan, dan alat tepat. Dan lebih dari 90 persen responden melihat data, dan analitik sebagai alat penting untuk strategi resiliensi. ”Kami ingin membantu eksekutif seluruh industri mengungguli pesaing melalui penggunaan data, dan analitik untuk membangun strategi resiliensi berkelanjutan,” tutur Jay Upchurch, Wakil Presiden Eksekutif dan CIO SAS.
Baca juga: Perluas Lini Usaha, SLJ Global Dirikan Orimba Alam Kreasi
Dengan menggunakan instrumen riset dan penilaian, yaitu Indeks Resiliensi, perusahaan akan dapat mengidentifikasi keunggulan maupun area masih dapat ditingkatkan. ”Wawasan itu akan membantu pelaku bisnis menutup kesenjangan, membentengi peranti, dan sistem secara strategis, membuat pebisnis gesit dalam menghadapi tantangan, dan disrupsi,” imbuhnya.
SAS mengidentifikasi lima prinsip penting untuk mempertahankan, dan memperkuat resiliensi bisnis. Yaitu, kecepatan dan kelincahan. Inovasi. Kesetaraan dan tanggung jawab. Budaya dan literasi data. Rasa ingin tahu. Disebut sebagai lima prinsip resiliensi, riset SAS meneliti bagaimana para eksekutif memprioritaskan, dan menerapkan masing-masing prinsip. Satu hal jelas: eksekutif dengan resiliensi tinggi menempatkan nilai lebih tinggi, dan berinvestasi lebih banyak pada tiap area dibanding eksekutif dengan resiliensi rendah.
Baca juga: Lunasi Utang, Pengelola IKEA Jual Aset Rp355 Miliar
Itu konsisten dalam respons para responden dari lintas negara, dan berbagai sektor industri. Kondisi tersebut menunjukkan para eksekutif memandang sebagai komponen fundamental untuk strategi resiliensi. Pelajaran utama riset terhadap eksekutif adalah pentingnya peran data, dan analitik dalam penerapan prinsip resiliensi.
Hampir seluruh eksekutif dengan resiliensi tinggi 96 persen menggunakan data, dan analitik baik internal maupun eksternal sebagai sumber informasi bagi pengambilan keputusan, menjadi kunci untuk menavigasi perubahan, dan memastikan kelangsungan bisnis. Eksekutif perusahaan sangat tangguh mengklaim lebih banyak menerapkan peranti pengolahan data dibanding rekan mereka kurang tangguh 93 persen vs 22 persen.
Baca juga: Jualan Antimo, Laba Phapros Meroket 153 Persen
Khusus untuk studi itu, SAS menciptakan metodologi penilaian disebut Indeks Resiliensi agar dapat memahami mana resiliensi tepat bagi prioritas, dan investasi para eksekutif. SAS mengelompokkan responden ke dalam tiga kategori yaitu resiliensi tinggi 26 persen, resiliensi sedang 54 persen, dan resiliensi rendah 20 persen.
Saat membandingkan praktik bisnis masing-masing, pandangan eksekutif dengan resiliensi tinggi ternyata memiliki strategi terstruktur integral karena tidak sekadar menangani disrupsi tetapi juga berperan menjaga stabilitas bisnis. Strategi resiliensi memengaruhi pengukuran bisnis utama termasuk kinerja karyawan, dan kepercayaan konsumen.
Baca juga: Full Senyum! Bukalapak Sulap Rugi Jadi Untung Rp1,98 Triliun
SAS telah meluncurkan Instrumen Asesmen Resiliensi sebagai instrumen gratis berdasar Indeks Resiliensi bagi siapa saja yang ingin melakukan asesmen bisnis, dan perencanaan bisnis secara mandiri. Ini membantu perusahaan menutup kesenjangan resiliensi dengan mendapatkan data, dan analitik tepat di tangan para eksekutif. Instrumen itu, bersama wawasan laporan para eksekutif tangguh, memberikan panduan praktis untuk mendorong resiliensi bisnis lebih besar.
Riset SAS berupa Instrumen Asesmen Resiliensi berpengaruh besar terhadap metode, dan strategi. Kelima prinsip itu, merupakan komponen penting untuk menanamkan sumber daya, dan resiliensi dalam perusahaan tengah berusaha berkembang dalam kondisi bisnis sangat menantang, dan cepat berubah ini. ”Platform AI/ML SAS kembali memainkan peran krusial saat kami mengubah praktik manufaktur dan komersial kami,” tegas Steve Bakalar, Wakil Presiden Transformasi Digital TI Georgia-Pacific. (abg)