MASA depan itu berjalan tertatih-tatih: listrik tenaga surya. Pelaku masa depan itu belum bisa lari. Mereka masih menunggu insentif dari mana pun datangnya. Menteri ESDM akhirnya mengeluarkan Permen –peraturan menteri– yang baru. Isinya: barang siapa memasang solar cell di atap rumahnya, pemerintah memberikan permen beneran.
Menurut Permen itu, PLN harus menerima kelebihan listrik dari solar cell di atap rumah Anda –dengan perhitungan lebih baik dari Permen lama. Pertama, meteran listrik Anda akan diganti. Selama ini meteran listrik di rumah Anda hanya untuk menerima listrik dari PLN. Meteran yang baru itu bisa mengirim listrik ke PLN.
Siang hari, solar cell di atap rumah Anda bisa menghasilkan listrik maksimum. Tentu di siang hari pemakaian listrik di rumah Anda kecil. Maka meteran Anda akan mengirim kelebihan listrik itu ke PLN. Akhir bulan, meteran listrik itu memberi tahu Anda: berapa Anda memakai listrik PLN, setelah dipotong listrik yang Anda kirim ke PLN.
Kalau bulan itu Anda kirim listrik ke PLN sangat banyak, kelebihan angka itu disimpan di PLN. Bulan berikutnya bisa diakumulasikan. Siapa tahu bukan berikutnya banyak mendung. Setiap tiga bulan, totalan listrik itu berakhir. Berapa pun Anda punya ”saldo”, dianggap nol. Begitulah tiap tiga bulan.
Menurut Permen yang baru, totalan itu menjadi tiap enam bulan. Berarti saldo setrum tiap bulan tetap diakui selama enam bulan. Itulah hal baru kedua di permen itu.
Yang baru ketiga: listrik yang Anda kirim ke PLN itu harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan PLN menjual listrik ke Anda. Di Permen yang lama tidak begitu. Misalkan Anda membeli listrik PLN Rp 1000/kWh, PLN hanya akan membeli listrik kiriman Anda dengan harga Rp 650/kWh. Lewat Permen baru itu PLN harus membeli dengan harga yang sama.
Yang keempat: dulu hanya PLN yang wajib menerima kiriman listrik dari pelanggan. Di Permen yang baru, perusahaan listrik non-PLN juga wajib menerima hal yang sama.
Apakah ada perusahaan listrik di luar PLN? Ada. Empat atau lima buah. Kecil-kecil. Misalnya di Cikarang. Di kawasan industri itu berdiri perusahaan listrik swasta: Cikarang Listrindo. Perusahaan itu memiliki izin menguasai areal tertentu di Cikarang. Pelanggan utamanya adalah pabrik-pabrik yang ada di kawasan itu. Cikarang Listrindo boleh menetapkan tarif listrik sendiri. Lebih mahal dari PLN. Tapi keandalannya juga lebih baik. Bahkan bisa digugat pelanggan bila CL ingkar janji.
Riwayatnya panjang: kala itu industri berkembang pesat di mana-mana. PLN kewalahan menyediakan listriknya. Maka pemerintah mengizinkan ”PLN swasta” seperti Cikarang Listrindo.
Permen ESDM yang baru bisa menjadi ancaman besar bagi “PLN swasta” seperti itu. Bayangkan, pabrik-pabrik di sana punya atap yang luas-luas. Mereka bisa memasang solar cell seluas atap pabrik. Mereka pun bisa ”ekspor” listrik ke ”PLN swasta” dalam jumlah besar.
Memang ada pembatasan di Permen itu. Solar cell yang boleh dipasang di atap rumah Anda maksimum hanya sebesar langganan listrik Anda ke PLN. Demikian juga pabrik-pabrik di Cikarang itu. Seluas apa pun atap mereka hanya boleh memproduksi listrik sebesar ukuran langganannya.
Perkiraan saya, perusahaan listrik ”PLN swasta” segera menyerah: pilih tutup. Omzet mereka akan turun drastis. Bisa-bisa hanya menerima pemasukan sejumlah tarif dasar langganan saja. Itu tidak akan cukup untuk memikul investasi pembangkit listrik.
Pemerintah memang harus prihatin. Target capaian listrik yang bersumber dari green energy baru tercapai kurang dari sepertiganya. Apakah dengan Permen baru itu industri solar cell dalam negeri akan booming? Belum tentu. Selama 15 tahun terakhir jumlah pengusaha solar cell hanya tambah dua. Dari 12 ke 14 perusahaan.
Itu pun hanya perusahaan perakitan. Seluruh bahannya harus impor. Kita baru punya matahari –salah satu yang terbaik di dunia. Belum punya satu pun pembuat solar cell. Teknologinya belum kita kuasai. Nilai investasinya juga sulit terjangkau: sekitar Rp 500 miliar. “Sebagian besar pembeli solar cell masih pemerintah. Pusat dan daerah,” ujar Nick Nurachman. Ia mantan ketua asosiasi pengusaha solar cell Indonesia.
Sebenarnya Nick sarjana peternakan Universitas Gadjah Mada. Tapi terlalu banyak orang yang memilih jalan hidup di luar ilmu yang didalaminya di universitas. Pemerintah, lewat kementerian ESDM memang punya program melistriki penduduk yang belum berlistrik. Umumnya di pedalaman nun jauh. Maka solar cell adalah jalan tercepat.
“Saya pernah dua minggu terjebak di pedalaman Papua,” ujar Nick. “Tidak ada pesawat yang datang. Itu akibat mendung berhari-hari,” tambahnya.
Nick sampai ikut penduduk mencari ikan. Agar bisa tetap makan. Juga ikut makan ketela seperti penduduk setempat. Menurut evaluasi Nick, sistem solar cell komunal sudah tidak cocok. Perawatannya lebih sulit. Penduduk di pedalaman harus terbebani dengan perawatan alat-alat listrik.
Anda sudah tahu: solar cell komunal adalah satu kelompok penduduk dilayani oleh satu hamparan solar cell. Hamparan itu dilengkapi baterai terkonsentrasi di satu tempat. Dari situ listrik dialirkan ke rumah-rumah lewat kabel. Dalam waktu tiga tahun baterai itu pasti sudah rusak. Itu karena masih menggunakan baterai model lama. Belum model lithium. Harus diganti. Itulah yang membuat proyek solar cell komunal itu tidak cocok. Banyak yang setelah rusak tidak diperbaiki. Mangkrak.
Maka ESDM kini punya program penggantinya: LTSHE (lampu tenaga surya hemat energi). Sangat mirip dengan program listrik Sehen (super ekstra hemat energi) yang pernah digalakkan PLN di tahun 2010. Hanya ditambah dengan colokan handphone.
Saya masih ingat itu. Saya pernah memasangnya di pedalaman Sumba. Tiap rumah mendapat satu keping solar cell. Dipasang di atas atap. Dayanya cukup untuk 4 titik lampu –terserah dipasang di mana saja: ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan teras. Baterainya ditempatkan di tiap-tiap lampu. Dengan sistem ini pemilik rumah pun bisa mencopot lampu itu untuk dibawa ke mana-mana. Sebagai obor. Termasuk kalau harus menghadiri hajatan di rumah tetangga jauh.
Rasanya tidak ada yang lebih cocok selain itu. Apalagi kini sudah ditambah dengan colokan HP. Pun kini sudah ada TV DC. Maka TV masuk pedalaman bisa cepat terwujud.
Solar cell memang masih tertatih-tatih. Tapi Permen ESDM itu bisa jadi tongkat pertamanya.
Benarkah ada Permen baru seperti itu? Mestinya benar. Sudah termuat di lembaran negara. Sudah diumumkan kementerian hukum. Saya pun sudah mendapatkan kopinya. Tiga hari lalu.
Rupanya kementerian ESDM sendiri belum secara resmi mengedarkannya. Tak apa. Internet sudah membantunya.(Dahlan Iskan)