indoposnews.co.id – Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami paling tidak 1 kali kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual dalam hidupnya (WHO, 2021).
Di Indonesia, data yang didapat dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya ataupun orang lain dalam hidupnya, dan 1 di antara 10 perempuan pada rentang usia 15-64 tahun mengalami kekerasan dalam 12 bulan terakhir.
“Kekerasan berbasis gender adalah salah satu bentuk kekerasan yang terjadi di seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Sebagai Fakultas Psikologi tertua di Indonesia, Psikologi UI bisa terus menjadi yang terdepan sebagai pelopor dalam menelurkan psikolog-psikolog terbaik yang dapat turun ke masyarakat untuk berperan secara aktif dalam berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia,” ujar Dr. Livia D.F. Iskandar, M.Sc., Psikolog., dalam orasi ilmiah Dies Natalis ke-62 F.Psikologi UI berjudul “Kontribusi Psikologi dalam Menghasilkan Kebijakan Publik yang Berorientasi Kesehatan Mental”.
baca juga : Cek! ini Link Live Streaming Final Piala Presiden 2022 laga Borneo FC vs Arema FC
Dr. Livia memaparkan bahwa memberikan perlindungan saksi dan korban merupakan pekerjaan panjang dan sunyi yang membutuhkan berbagai usaha untuk melintas pulau dan lautan lepas serta jalan tak beraspal di tengah kegelapan malam di daerah terpencil di kepulauan Indonesia. Saksi dan korban kerap mengalami ancaman, baik secara aktual ataupun berupa potensi ancaman, dan juga yang berbentuk intimidasi secara psikologis terhadapnya atau keluarganya oleh keluarga pelaku dan/atau anggota masyarakat lain yang berpihak pada pelaku.
“Pada perkara dengan pelaku oknum pejabat publik/tokoh masyarakat, bahkan seluruh instansi/pengikutnya akan mencoba segala cara agar pelaku tidak ditahan seperti yang saat ini sedang terjadi di Jawa Timur. Banyak pelaku yang melakukan pelaporan balik terhadap korban agar korban tidak melanjutkan perkaranya ke ranah hukum pidana. Parahnya adalah seringkali pelaporan balik tersebut diproses lebih cepat dibandingkan dengan tindak pidananya,” ujar alumni F. Psikologi UI angkatan 1988 ini.
Menurutnya, perspektif psikologi amat dibutuhkan bagi negara, terutama untuk mendorong evidence-based government, sehingga kebijakan disusun dan dikeluarkan tidak semata-mata karena pertimbangan politik, namun juga mengakomodasi berbagai pandangan keilmuan secara luas, termasuk ilmu perilaku. Adanya tuntutan ini menyebabkan ilmu psikologi perlu masuk ke ranah hukum. Asesmen, penguatan, dan pemulihan psikologis menjadi salah satu bentuk dari bantuan rehabilitasi psikologis yang diberikan oleh LPSK kepada korban. Hasil asesmen ini akan menentukan apakah seorang saksi atau kesehatan mental yang baik untuk meneruskan perkaranya dalam proses peradilan pidana. (ash)