indoposnews.co.id – ANDA terkejut lagi kemarin: Richard Eliezer dijatuhi hukuman sangat ringan. Hanya 1,5 tahun penjara. Padahal ia yang menembak kepala Yosua. Mungkin hakim punya keyakinan, yang tidak diucapkan, belum tentu tembakan itu yang menewaskan Yosua. Bisa saja Yosua baru tewas oleh tembakan setelah itu: yang dilakukan Irjen polisi Ferdy Sambo. Yang jelas hakim menilai Eliezer adalah justice collaborator.
Berkat keterangan Eliezer-lah terungkap ia hanya disuruh atasannya: Sambo. Bahkan Sambo lantas menembak kepala Yosua. ”Tapi itu berlebihan. Terutama bila dikaitkan dengan hukuman pada Bripda Ricky Rizal 13 tahun,” ujar sahabat Disway Rohman Budijanto (Roy), ahli hukum Universitas Brawijaya, dan Universitas Muhammadiyah Malang. ”Justru Rizal berani menolak perintah Sambo menembak Yosua,” tegas doktor hukum Unair Surabaya itu.
Saya mengenal Roy sangat lama. Ia wartawan berprestasi. Sampai pernah jadi pemred dJawa Pos. Lalu kini merangkap jadi staf khusus Menko Kesra. ”Kalau Rizal dihukum 13 tahun penjara, harusnya Eliezer dihukum 15 tahun. Itu sudah ringan. Harusnya kan seumur hidup,” katanya. Roy mengakui jasa Eliezer sebagai JC sangat besar. Tapi itu bukan paling menentukan. Bukan satu-satunya. Roy mengunggulkan jasa istri seorang polisi sangat besar: Dhania Choirunnisa.
Baca juga: Serangan Balik Adani
Dia istri Baiquni Wibowo, sudah dipecat dari keanggotaan polisi. Pangkat Baiquni sudah cukup tinggi: komisaris polisi. Setara dengan mayor di TNI. Jabatannya juga moncer: Kasub bagian pemeriksaan dan penegakan etika di Divisi Propam Polri. Baiquni dipecat karena dianggap perusak barang bukti. Yakni merusak laptop berisi rekaman CCTV di pos penjagaan rumah Sambo: di Duren Tiga Jakarta. Itu pun sebenarnya juga atas perintah Sambo.
Polisi sengaja merusak barang bukti adalah kesalahan berat. Tentu ada juga jasa Baiquni: diam-diam ia telah meng-copy rekaman itu. Copy tersebut ia simpan di rumahnya. Ketika penyidik datang untuk menyita barang bukti, mereka tidak tahu ada copy itu. Setelah menyita laptop yang rusak, mereka mau meninggalkan rumah Baiquni. Mereka seperti putus asa: hanya mendapat barang bukti yang sudah dirusak.
Ketika mereka akan pamit dari rumah Baiquni, Dhania datang. “Yang ini tidak dibawa sekalian?” ujar Dhania kepada penyidik. Sambil berkata begitu Dhania mengambil copy rekaman tersebut. Penyidik mendapat barang bukti sangat berharga. Khususnya dalam mengaitkan pembunuhan itu dengan dalang Sambo. Anda sudah tahu: sebelum itu ada upaya cuci tangan Sambo. Sambo membuat skenario tidak di rumah saat ”tembak-menembak” terjadi.
Baca juga: Sambo.., Telan Motif
Tapi dengan copy rekaman itu, Sambo ternyata cuci tangan dengan darahnya sendiri. “Menurut pendapat saya, lebih penting rekaman yang diberikan Dhania itu dibanding pengakuan Eliezer,” ujar Roy yang juga pernah lama memimpin The Jawa Pos Institute of Pro-otonomi. Roy pernah bikin iri wartawan se-kantor. Roy-lah yang berhasil menaklukkan cinta wartawati kami yang tercantik saat itu. Kini, si wartawati menjadi notaris terkenal di Malang.
Adil mana: hukuman Rizal yang diturunkan atau hukuman Eliezer yang dinaikkan? “Hukuman Eliezar dinaikkan. Jadi 15 tahun. Toh tuntutan jaksa 12 tahun,” ujar Roy. Hakim punya pertimbangan lain: Eliezer masih muda. Belum pernah dihukum. Bersikap sopan di sidang. Dan penting: keluarga almarhum Yosua sudah memaafkannya. Tidak sedikit tokoh bersimpati pada Eliezer. Mereka sampai mengedarkan petisi. Mendukung Eliezer dihukum ringan.
Ditandatangani beramai-ramai. Alasan mereka: Eliezer adalah korban seorang pemimpin yang sempurna keburukannya. Ichad –nama panggilan Richard Eliezer Pudihang Lumiu– awalnya sudah pasrah: ia pasti dihukum mati. Karena itu ia sudah minta agar maituanya pulang ke Manado. Jangan lagi berharap bersuamikan dirinya. Ichad tidak berani mengaku bahwa penembakan itu akan perintah Sambo, atasannya. Ia di bawah tekanan.
Baca juga: Intip, Ini Alasan Hakim Perberat Hukuman Kuat Ma’ruf, dan Ricky
Sebagai polisi dengan pangkat terendah apalah artinya di depan seorang jenderal bintang dua Sambo. Roy setuju hukuman pada Ichad diperingan. Tapi tidak sedramatis itu. “It’s unfair. Bisa jadi preseden buruk. Anak buah tutup mata, tutup akal, tutup nurani, saat menerima perintah atasan. Termasuk untuk melakukan kejahatan berat seperti pembunuhan berencana,” ujar Roy.
Ichad dua kali gagal tes masuk polisi. Ia melamar lagi: untuk pangkat lebih rendah, paling rendah. Berhasil. Ia seorang pendaki gunung, perenang tangguh dan guru pendaki tebing.
Kali ini tebingnya terlalu terjal. Tapi masih bisa didaki. Tak lama lagi ia sudah bisa meloncati dinding itu: semoga saja, Lily, maituanya, masih menanti di balik dinding itu. (Dahlan Iskan)