indoposnews.co.id – S&P Global Ratings, bersama Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengadakan seminar Annual Indonesia Credit Spotlight kedua di Soehanna Hall – The Energy Building Jakarta. Seminar bertajuk “Tren Kredit di Bawah Pemerintahan Baru” itu, menghadirkan para ahli. Mengulas dan membahas tren kredit utama akan membentuk masa depan keuangan Indonesia.
Analis dan ekonom senior S&P Global Ratings, dan Pefindo membagikan perspektif mengenai outlook perekonomian Indonesia pada 2024, ulasan mengenai kinerja keuangan pemerintah, dan korporasi. Mengetengahkan pandangan mengenai sektor perbankan, transisi energi, dan keuangan berkelanjutan.
Senior Economist S&P Global Ratings Vishrut Rana menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama 2024 mencatat capaian begitu tangguh didukung belanja pemerintah kuat. Pertumbuhan ekonomi diprediksi lebih lambat dari tren karena siklus permintaan domestik lebih lemah, dan kebijakan moneter lebih ketat.
Baca juga: Meragukan, Pefindo Revisi Prospek Lautan Luas Jadi Stabil
”Setelah 2024, perekonomian Indonesia akan menuai manfaat dari pertumbuhan, peningkatan keterampilan tenaga kerja, dan keuntungan dari investasi langsung dari dalam, dan luar negeri. Dengan begitu, menempatkan Indonesia pada jalur pertumbuhan stabil hingga 2030,” tutur Rana.
Di sisi lain, kinerja fiskal Indonesia terus memperoleh manfaat dari pertumbuhan pendapatan, dan keputusan belanja penuh kehati-hatian. Mengantisipasi transisi mulus dari pemerintahan saat ini ke pemerintahan berikutnya, meski pendekatan pemerintahan selanjutnya terhadap kebijakan fiskal, reformasi ekonomi, dan dinamika koalisi parlemen, akan menjadi faktor penentu penting kinerja Indonesia lima tahun ke depan.
”Kondisi eksternal Indonesia saat ini berada pada kondisi lebih kuat dibandingkan beberapa tahun lalu. Kembalinya pertumbuhan ekspor lebih cepat dapat menjaga momentum ini tetap berjalan,” tegas Direktur Sovereign Ratings S&P Global Ratings Andrew Wood.
Baca juga: Beking ANZ Kuat, Pefindo Pertegas Rating Bank Panin idAA
Sementara itu, Managing Director Corporate Ratings S&P Global Ratings Xavier Jean mengaku sejumlah perusahaan di Indonesia mungkin akan memasuki periode pertumbuhan lebih lambat, dan pengembalian modal relatif lebih rendah selama 5 tahun ke depan. Pertumbuhan PDB stabil tidak lagi menghasilkan banyak tambahan pendapatan dan laba, di tengah kenaikan harga dan tekanan terhadap pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income).
Biaya pendanaan dalam kondisi “Higher-for-Longer” akan membebani profitabilitas bersih sektor padat modal. Perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak kehilangan minat terhadap belanja perusahaan, bahkan ketika pertumbuhan pendapatan, dan laba mengalami perlambatan. ”Kami sedang mengamati dimulainya siklus belanja baru, terutama sektor-sektor terkena risiko transisi, dan deplesi,” ucap Xavier.
Di sisi lain, Kepala Divisi Pemeringkatan Pefindo Yogie Perdana menyampaikan kondisi kredit korporasi lokal diperkirakan tetap stabil di tengah tantangan pelemahan rupiah, dan kenaikan suku bunga. ”Kebijakan ekonomi lebih jelas setelah penetapan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, dan transisi pasca-pemilu lancar, akan memberi stabilitas makroekonomi, dan mendukung kondisi kredit bagi perusahaan-perusahaan lokal,” tukas Yogie.
Baca juga: Kuartal I-2024, Pefindo Terima Mandat Obligasi Korporasi Rp53 Triliun
Direktur Financial Institutions Ratings S&P Global Ratings Ivan Tan mengemukakan bank-bank di Indonesia telah menunjukkan pemulihan kuat pascapandemi. Saat ini menikmati profitabilitas positif dengan tetap menjaga rasio permodalan secara sehat. ”Namun masih ada tantangan pada kualitas aset yang mungkin akan menjadi tantangan utama dalam lingkungan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama,” beber Ivan.
Menyoroti tren perusahaan pembiayaan, Kepala Divisi Pemeringkatan Sektor Keuangan Pefindo Danan Dito menyampaikan ketahanan perusahaan pembiayaan Indonesia sedang menghadapi tantangan dengan lonjakan risiko, dan tingkat volatilitas makroekonomi. Di mana, para perusahan itu harus berhadapan dengan suku bunga lebih tinggi, dan prospek pertumbuhan lebih rendah.
”Namun, pemulihan penjualan unit otomotif pasca-pandemi, keinginan perbankan untuk mendanai industri pembiayaan, dan marjin relatif tinggi menjadi faktor penunjang terhadap kondisi fundamental perusahaan pembiayaan Indonesia, sehingga rasio keuangan seharusnya tetap terjaga,” ulasnya.
Baca juga: Pefindo Permanenkan Komisaris Baru, Ini Sosoknya
Head of Sustainable Finance Asia-Pacific S&P Global Ratings Bertrand Jabouley berpendapat dalam konteks Indonesia, transisi energi sangat kompleks di tengah perubahan taksonomi Indonesia terbaru. ”Itu tersebab kontribusi industri batu bara terhadap kekayaan nasional, seluruh lapangan kerja, dan masyarakat bergantung pada rantai nilainya (value chain), konsentrasi geografis provinsi-provinsi utama, dan produksi mineral dengan energi intensif penting bagi energi bersih,” tukasnya.
Mengenai tren infrastruktur Indonesia, Managing Director Infrastructure Ratings S&P Global Ratings Abhishek Dangra menyebut kebijakan Indonesia perlu diarahkan untuk mengatasi subsidi listrik, iming-iming harga batu bara murah, dan keengganan pemerintah untuk menaikkan tarif. Revisi rencana transisi energi Indonesia bergantung pada peningkatan tajam kapasitas pembangkit tenaga surya, gas, dan sejumlah kapasitas pembangkit tenaga nuklir untuk menggantikan batu bara.
Baca juga: Gagal Bayar, Pefindo Lorot Peringkat Kapuas Prima Coal Jadi idSD
”Rencana-rencana tersebut belum tercapai dalam skala besar, terutama dengan dana yang dialokasikan hingga saat ini hanya merupakan sebagian kecil dari total investasi yang diperlukan untuk tujuan transisi,” beber Abhishek.
Sekadar informasi, seminar itu, didahului oleh sambutan Matthew Batrouney, Managing Director, Commercial Lead Sustainable Finance APAC, S&P Global Ratings. Acara kemudian dilanjutkan dengan presentasi dan sesi panel dengan narasumber dari S&P Global Ratings dan Pefindo, sebelum ditutup dengan closing remarks oleh Direktur Utama Pefindo Irmawati Amran. (abg)