indoposnews.co.id – ”LAIN kali harus membawa mobil sendiri,” ujar seorang staf disway.id/listtag/261568/neom”>Neom menasihati saya. Saya iyakan saja. Untuk apa berbaku kata. Cukuplah pelajaran mahal ini untuk diri saya sendiri. Saya bukan tidak lihat Google. Justru saya berpatokan padanya. Tapi Sharma, yang tertulis sebagai kota, ternyata bukan kota. Hanya beberapa hotel tempat menyepi di pantai. Jalan dari Tabuk ke Sharma diperlihatkan dengan garis kuning tipis. Seperti jalan kampung.
Nyatanya sudah jalan baru lebar, dua jalur, dan mulus. Mengalahkan jalan besar di map digambarkan dengan garis tebal. Ya sudah. Yang penting jangan sampai Anda buru-buru ke Neom. Ini proyek terbesar di jagat raya baru dimulai. Tiga tahun lagi belum banyak bisa dilihat. “Mungkin tahun 2050 baru benar-benar jadi,” katanya. Saya akan ke sana lagi tahun itu. Atau Anda wakili saya. Pun saat itu nanti Anda harus membawa kendaraan sendiri. Tidak akan ada angkutan umum masal di sana. Tentu ada persewaan mobil.
Seperti di Amerika atau Eropa. Sekarang di Saudi Arabia sudah ada persewaan mobil seperti itu. Mereka buka cabang di Saudi: Avis, Enterprise, Alamo, dan seterusnya. Saya lihat ada cabang mereka di kota Tabuk. Saya juga sempat terpikir ambil sewaan itu. Tapi saya lebih ingin berinteraksi dengan layanan umum. Dan lagi saya harus mengembalikan mobil itu ke kantor mereka. Berarti saya harus balik ke Tabuk. Saya tidak ingin balik ke tempat yang saya sudah tahu. Kecuali tempat itu sangat menarik.
Baca juga: Gurun Berbisik
Saya lebih ingin menyusuri pantai Laut Merah. Dari ujung utara ke ujung Jeddah. Saya bisa mengembalikan mobil sewaan itu di kantornya yang di Jeddah. Tapi itu berarti saya harus mengemudi 14 jam. Saya tidak mau terikat seperti itu. Saya ingin bebas. Dan di Neom, saya sama sekali tidak bebas. Tidak bisa ke mana-mana. Luas kota Neom ini akan sulit Anda bayangkan: lebih luas dari seluruh Singapura. Tapi yang akan dibangun hanya 5 persennya saja. Selebihnya dibiarkan seperti aslinya.
Lima persen itu tidak di satu lokasi. Lima persen itu diecer di lima titik lokasi. Berjauhan. Masing-masing disesuaikan dengan temannya. Di sana akan ada Neom 1, Neom 2, Neom 3, Neom 4, Neom 5. Misalnya di salah satu Neom akan ada danau buatan yang seluas Danau Toba. Berbagai olahraga air akan ada di situ. Juga hotel-hotel jenis lake side. Danau itu dibuat di sela-sela gunung batu di ketinggian 800 meter. Berarti juga mirip posisi danau Toba. Lalu akan ada pegunungan dilapisi salju di atasnya.
Hamparan salju luas. Salju buatan. Tebal. Bisa untuk kejuaraan ski seperti di pegunungan Alpen atau Nagano. Akan ada juga kota vertikal: gunung batu tinggi dibelah. Di tebing terjalnya dibangun kota. Jangan sampai Anda usul nama kota itu nanti Tebing Tinggi. Semua lokasi itu berada di sela-sela gunung batu. Batu tua. Batu keras. Mungkin ini kawasan pegunungan batu tua terluas. Dan alam seperti itu akan dipertahankan keasliannya. Kawasan wisata Neom akan menjadi satu rangkaian dengan wisata Jordania.
Baca juga: Tuah F1 Danau Toba
Nah, dari Neom hanya perlu 30 menit ke lokasi pendaratan Nabi Musa. Yakni setelah Musa membelah laut Merah dengan tongkatnya. Lokasi itu, sekarang belum ada apa-apanya. Pantai biasa. Pantai tidak indah. Tentu kelak bisa dibangun museum Nabi Musa. Atau diorama pembelahan laut. Lengkap dengan animasi peristiwa tongkat sakti itu. Kini museum serupa, dalam wujudnya yang sangat sederhana, ada di Amerika. Di Tennessee. Tidak jauh di selatan ”ibu kota” musik Country, Nashville.
Pemiliknya terobsesi peristiwa itu. Ia seorang pendeta. Ten Commandments sangat diajarkannya di gereja. Masih banyak museum arkeologi sekitar peristiwa itu. Di mana-mana. Tapi ilmuwan belum sepakat di mana lokasi pembelahan laut itu sebenarnya. Bahkan ada ilmuwan berpendapat peristiwa di kitab suci itu hanya kiasan. Belum ada satu penemuan arkeologi soal pembelahan laut itu. Tapi objek wisata bukanlah catatan sejarah. Putra Mahkota Mohamad bin Salman pasti bisa membangun lebih spektakuler.
Pasti laris. Kebetulan versi Kristen dan versi Islamnya praktis sama. Dari situ, dua jam lagi ke utara, sudah sampai Petra (Jabal al Midbah). Terus ke utara lagi sampai Jerusalem. Neom akan disebut juga objek wisata natural terbesar se-jagat raya. Tapi jangan ke sana sekarang. Kecuali Anda ingin berdagang debu bongkaran gunung batu. Saya tidak sampai harus bermalam di gunung batu Neom. Pemuda Pakistan itu akhirnya menemukan satu mobil bisa membawa saya pergi. Asal pukul 19.00 ia bisa tiba di Neom.
Baca juga: Budaya Korporasi
Pemilik mobil itu orang Karala, India. Ia tinggal di Tabuk. Sudah 15 tahun di Saudi Arabia. Istri dan anaknya tinggal di Karala. “Pendidikan anak di Karala lebih bermutu,” katanya. “Setahun dua kali saya pulang ke Karala,” tambahnya. Sore itu, si Karala lagi bersih-bersih mobil di dekat masjid temporer. Mobil itu kail baginya. Pekerjaannya: antar jemput staf Neom. Tiga orang kulit putih. Pagi berangkat dari Tabuk ke Neom. Petang dari Neom ke Tabuk. Si Karala melihat jam. Kepalanya bergoyang-goyang.
”Waktunya tinggal dua jam,” gerak bibir di bawah kumis tebal itu. Mengantar saya ke Tabuk tidak mungkin. Terlalu jauh. Kalau telat kembali ke Neom kontrak antar-jemputnya bisa diputus. Bahkan kena denda. “Ke Duba saja mau?” tanyanya pada saya. “Ke mana saja. Asal bisa keluar dari sini,” jawab saya. Perjalanan ke Duba satu jam. Berarti ia bisa tiba kembali di Neom dalam dua jam. Pas dengan jadwal mengantar pulang tiga orang kulit putih itu. “Ke Duba saja,” katanya. “Berapa?” tanya saya.
“200 riyal,” jawabnya. “300 riyal,” kata saya menawar. Kali ini tidak untuk lebih hemat. “Sekarang!” jawabnya dengan senyum khas India. Kepalanya agak sedikit digelengkan. Saya pamit ke pemuda Pakistan itu. Saya buka dompet di depannya. Ia menolak keras. Si Karala memacu mobil ke arah selatan. Menyusuri pantai Laut Merah. Sama sekali tidak indah. Hanya proyek. Proyek. Proyek. Debu. Debu. Debu. Deru dan debu. Saya berdoa agar perjalanan ini selamat. Terutama agar si Karala tidak diputus kontrak kerjanya. Agar ia dapat uceng tanpa kehilangan deleg-nya. (Dahlan Iskan)