indoposnews.co.id – SAYA bangga sekali: berhasil menawar separo harga. Saya pun naik mobilnya dengan dada berkembang. Kali ini saya bisa berhemat 50 persen. Saya segera meninggalkan halaman terminal bus itu menuju hotel. ”Turun di sini,” ujarnya. Saya tidak jadi bangga. Ternyata hotel itu dekat sekali. Rasanya saya belum sempat duduk. Jarak hotel ini hanya 1 km dari Terminal Bus Tabuk. Kalau jalan kaki hanya perlu 15 menit. Jelas: 50 riyal terlalu mahal. Besok pagi saya jalan kaki saja.
Saya harus kembali ke terminal itu lagi. Sambil olahraga. Maka pagi itu saya berjalan kaki dengan bangga: berhasil menghemat 50 riyal Di tengah jalan saya tidak jadi bangga. Saya ingat tas saya seret di trotoar paving ini. Roda tas kecil ini bisa jadi korban penyeretan: harga tas ini Rp250 ribu. Kalau rusak, berarti pikiran berhemat saya salah. Dari belokan dekat hotel, Terminal Bus Saptco di Tabuk itu sudah kelihatan. ”Tadi malam kok tidak kelihatan”. Malam itu, tengah malam, saya tiba di Terminal Tabuk dari Madinah.
Naik bus umum murah. Hanya 180 riyal untuk 12 jam perjalanan. Saya merasa berhasil berhemat 800 riyal. Luar biasa pujian untuk diri sendiri. Hotel di Tabuk saya pilih yang pahe: 200 riyal. Daripada di hotel bintang 4 yang 600 riyal. Toh hanya untuk tidur 3 jam. Saya kembali bangga. Berhasil berhemat lagi 400 riyal. Kembali ke terminal pagi itu dengan tujuan sama. Ingin naik bus umum lagi ke tujuan akhir: Sharma. Yakni kota wisata di pantai Laut Merah. Saya tidak akan ke kota pantai itu.
Baca juga: Gurun Berbisik
Saya tidak sedang berwisata. Saya ingin ke satu proyek sebelum kota Sharma. Proyek Neom. Yakni kota baru impian putra mahkota Mohamad bin Salman. ”Tidak ada bus jurusan Sharma,” ujar petugas loket karcis di terminal kecil itu. Apalagi Neom. Saya kecewa. Berarti saya harus carter mobil. Pasti mahal. Saya menyesal: pagi ini gagal berhemat kali kedua. Memang banyak mobil berderet di depan terminal itu. Saya tidak mau langsung ke deretan itu. Takut jadi rebutan. Seperti malam sebelumnya.
Diperebutkan seperti itu saya tidak bisa berpikir jernih. Akhirnya sudah berhasil menawar separo masih begitu mahal. Saya pilih bertanya ke staf terminal: berapa kira-kira kalau harus carter mobil. Strategi bertanya lebih dulu ini betul sekali. Ternyata murah sekali. Jaraknya hanya 120 km. ”Mungkin 130 riyal,” ujarnya. Bayangan saya, 1000 riyal. Saya melangkah meninggalkan terminal. Ke deretan mobil. Tapi staf itu memanggil saya. ”Mungkin 150 riyal,” katanya. Angka itu pun masih ok. Daripada 1000.
Maka saya sampai ke deretan mobil. “200 real,” jawab pemilik taksi gelap itu. Yang terang tidak ada di situ. Itu masih ok. Daripada 1000. Saya masuk mobil. Toyota entah jenis apa. Agak tua. Kotak di dashboard-nya sudah dibalut lakban. Begitu saya masuk mobil, ia memejamkan mata sejenak. “300 riyal,” katanya. Usianya sudah sekitar 65 tahun. Garis wajahnya berkerut keras, dan terlihat lebih tua. Ia pakai baju putih panjang khas Arab. Di kepalanya sorban mengigal lusuh.
Baca juga: Tuah F1 Danau Toba
Ok. Setua itu masih mencari rejeki di jalanan. Itu belum sampai sepertiga bayangan 1000. Mobil dijalankan. Lalu masuk stasiun pompa bensin. Dari lirikannya saya paham: harus bayar. Saya pikir bayar 100 dulu. Yang penting bensin terisi. Ternyata ia minta lunas. Langsung saya lunasi. Untuk apa baku kata. Andai ditipu hanya 300 riyal. Bukan 1000. Dengan uang itu, ia isi bensin. Saya buang amoniak. Lega. Tadi pagi terlalu banyak minum. Begitulah kebiasaan saya bangun tidur: minum air hangat setengah liter.
Lalu minum obat. Lalu melaksanakan ritual pagi. Setelah itu minum lagi setengah liter. Olahraga. Pagi ini olahraga saya jalan kaki ke terminal 30 menit. Selesai buang amoniak ia sudah tidak terlihat di pompa bensin lagi. Saya jelalatan sapu pandang ke sekitar: oh ia di sana. Di depan bengkel. Kap mobilnya lagi dibuka. Ia terlihat mengutak-atik mesin. Lalu ambil selang udara. Ia semprot semua bagian mesin. Debu berterbangan. Mesin pun bersih. Sebagian debu pindah ke pakaiannya.
Ia semprot pakaian itu dengan selang udara. Sebagian pindah ke pakaian saya. Ia semprot pakaian saya. Sambil tertawa. Giginya kelihatan kuat, menghitam. Gerahamnya mengeras. Kami siap keluar kota. Ia minta saya membuat video gedung-gedung tinggi yang baru. Saya video juga wajahnya. Ia tertawa senang. Ia suka saya ambil video wajahnya. Saya suka memvideonya dengan alasan lain: kalau ada apa-apa punya rekam jejak seperti apa orangnya. Ia menoleh terus ke pinggir jalan.
Baca juga: Bahasa Penyandera
Setiap terlihat ada orang jalan kaki mobil ia pelankan. Kaca dibuka. “Sharma! Sharma!“. Oh, ia cari tambahan penumpang. Saya tidak mempersoalkannya. Dua kursi belakang kosong. Tidak satu pun yang ke jurusan Sharma. Mobil belok kanan. Lalu belok kanan dua kali lagi. Lho ini kan terminal tadi. Ia turun dari mobil. Semua orang ia tawari apakah mau ke Sharma. Nihil. Tidak juga dapat tambahan penumpang. Maka mobil dipacu ke arah luar kota. Jalan di kota ini lebar-lebar. Kanan kirinya bangunan baru.
Trotoarnya juga cukup untuk jejer lima berjalan kaki. Di pemisah jalan ditanami bunga. Kanan kiri jalan dihiasi pohon kurma. Kota ini kecil tapi bersih dan tertata. Penduduknya 500 ribu jiwa. Sampailah mobil ini di jalan layang interchange yang memutar gagah, dan tinggi. Di atas jalan layang itu ada satu lelaki berjalan kaki. Sendirian. Selebihnya sunyi. “Sharma?” teriak pak tua kepada pejalan kaki itu. “¢®§~£,” jawabnya. Rupanya ia menyebut satu nama tempat di depan sana.
“Khamsa riyal,” ujar lelaki tua di belakang kemudi. Tidak ada dialog. Lelaki itu membuka pintu belakang. Naik ke mobil. Lumayan, dapat tambahan 5 riyal. Sepuluh menit kemudian lelaki itu minta berhenti. Turun. Wow. Kalau jalan kaki jauh juga. Apalagi menjunjung barang berat. Lelaki itu turun begitu saja. Ngeloyor. Tanpa membayar. Melihat itu pemilik mobil hanya menggerakkan bahu sedikit. Tidak menagih. Lalu tancap gas. Tidak ada raut kecewa sedikit pun. Tidak juga menggumam. Apalagi ngomel.
Baca juga: Budaya Korporasi
“Baik juga orang tua ini,” pikir saya dalam hati. Baru kira-kira dapat 20 km ia mencoba mengejar satu mobil di depan. Ternyata ia mau bicara dengan mobil itu. Sambil sama-sama melaju. Saya tidak paham pembicaraan itu. Tapi saya paham maksudnya: apakah mobil itu juga menuju Sharma. Saya menduga-duga apa maksud pembicaraan itu. Mungkin saya akan dititipkan ke mobil itu. Agar efisien. Untuk apa dua mobil sama-sama menuju Sharma dengan kursi kosong. Saya lega. Mobil itu tidak menuju Sharma.
Saya terhindar jadi barang titipan. Tapi masih ada mobil lain mengarah ke barat. Ia kejar lagi satu mobil. Seperti Hiace tapi bagian belakangnya tertutup. Jelas ini mobil angkutan barang titipan. Ada nama perusahaan logistik di luarnya. Setelah saling teriak dari dalam mobil keduanya minggir. Rupanya ada keserasian pikiran. Saya pun ditransaksikan. Sopir Hiace melirik saya. Mungkin menduga-duga berapa kilogram berat badan saya. Harga pun disepakati. Saya dihargai 50 riyal.
Baca juga: Takdir Eliezer
Saya paham apa yang terjadi. Anggap saja sesama pedagang. Saya diminta turun. Diminta pindah ke mobil angkutan itu. Duduk di depan. Saya nurut saja. Tanpa kata-kata. Saya ikut saja apa mau mereka. Saya harus bisa bersikap jadi benda mati yang di titip-titipkan. Toh saya tidak merasa dirugikan. Tujuan saya ke Sharma. Bisa terpenuhi. Toh sama saja. Bahkan mobil ini lebih nyaman. Saya untung. Sopir Hiace pun untung. Pak Tua tadi untung besar. Win-win-WIN solution.
Bahkan, di dalam hati, saya mengagumi si lelaki tua. Otak bisnisnya jalan. Hanya jalan 20 km ia dapat 250 riyal. Daripada 120 km dapat 300 riyal. Saya berterima kasih ada orang sepintar itu. Sudah seperti Yahudi. Bahkan saya sulit berpendapat pintar mana Arab dan Yahudi. Dalam hal berdagang. Untuk sementara saya masih lebih banyak beruntung. Hitung saja, berapa total penghematan yang saya lakukan hari itu. (Dahlan Iskan)