indoposnews.co.id – Covid-19 itu bisa ibarat tikungan maut di dunia bisnis. Lion Air salah satunya bisa memanfaatkan tikungan itu untuk menyalip. Begitu mendarat di Jeddah, kemarin, saya melihat empat pesawat Lion parkir. Mencolok sekali dominasinya. Apalagi semua pesawat Lion berbadan lebar: A330. Pun di bandara internasional Juanda dekat Surabaya. Tiap hari empat pesawat besar grup Lion terbang ke Arab Saudi: dua jurusan Jeddah (untuk ke Makkah), dua jurusan Madinah.
Berarti, dari Juanda tiap hari Lion mengangkut 1.760 jemaah umrah. Sebulan kalikan sendiri. Belum lagi yang terbang langsung dari Makassar-Jeddah/Madinah dan Medan-Jeddah/Madinah. Apalagi kalau memasukkan jurusan Jakarta-Jeddah/Madinah. Lion boleh dibilang sikat habis angkutan jemaah umrah. Ia ibarat vacuum cleaner untuk jurusan itu. Tidak seperti itu sebelum Covid-19. Industri umrah seperti meledak setelah pandemi. Sebelum Covid jumlah perusahaan haji umrah 1.200. Sekarang menjadi 1.500.
Sejak ada UU Cipta Kerja izin mendirikan usaha haji umrah dipermudah. Pun masa berlaku izin seumur hidup. Dulu, izin itu tiga tahun mati. Sekarang hanya perlu memperpanjang tiap lima tahun sekali. Meski banyak yang pingsan selama Covid, banyak juga yang muncul baru. Garuda tergelincir di tikungan itu. Garuda tidak sampai masuk jurang tapi sempat sempoyongan. Garuda berhasil terhindar dari kebangkrutan tapi tidak bisa lagi berdiri tegap. Apalagi lari adu cepat.
Baca juga: Tuah F1 Danau Toba
Salip-salipan di tikungan itu harusnya juga terjadi di perusahaan penyelenggara umrah. Tapi hasilnya belum kelihatan. Misalnya: belum terlihat siapa yang sebelum Covid masih kecil sekarang menjadi lebih besar dari yang besar. Sudah banyak bangkit dari pingsan akibat Covid. Tapi masih banyak juga belum berhasil jalan kembali. “Saya Alhamdulillah. Sejak izin umrah dibuka sudah enam kali memberangkatkan jemaah,” ujar Ahmad Bajuri, pemilik biro perjalanan Bakkah di Surabaya.
Bajuri dulu wartawan. Karier jurnalistiknya mencapai puncak: pemimpin redaksi (Pemred) mingguan Nurani. Itu media khusus untuk pembaca Muslim perkotaan. Ketika media cetak kian sulit, Nurani stop terbit. Bajuri membuat keputusan itu justru ketika masih bisa punya uang. Masih bisa membayar pesangon. Punya aset bisa dijual. Banyak media terlambat berhenti, ketika sudah tidak punya apa-apa lagi selain utang. Sebagai mantan pemred Nurani, Bajuri punya hubungan luas dengan komunitas.
Ia juga sarjana syariah dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel yang terkenal itu. Ia pun memenuhi syarat jadi pembimbing haji atau umrah. Sejak 2012 itu, Bajuri menjadi profesional bidang bimbingan haji dan umrah. Kian dalam pula keterlibatannya di dunia bisnis dengan Tuhan, dan Arab ini. Maka ia dirikan usaha biro perjalanan haji dan umrah. Bakkah, namanya. “Bakkah itu nama lama Makkah. Kan ada di Quran surah Ali Imron,” ujar anak desa asal Lamongan itu.
Baca juga: Budaya Korporasi
Tentu Bajuri harus merangkak dulu. Akibat pandemi Bajuri sempat mati suri. Dua tahun penuh tanpa aktivitas. Kantornya di gedung tinggi tutup. “Mobil saya jual,” katanya. Sekarang, sudah 6 kali memberangkatkan jemaah ke Makkah, Bajuri bisa bernapas lagi. Berarti tiap dua bulan sekali Bajuri ke Makkah. Ia pimpin sendiri rombongan itu. Ia alumni pondok pesantren Tambakberas, Jombang. Supaya ekonomis ia batasi satu kali berangkat satu bus saja. Asal penuh: 40 sampai 45 orang.
Sebenarnya, Bajuri berharap Garuda buka lagi. Biar sedikit lebih mahal tapi ada pilihan. Ia sempat gembira ketika diberi tahu Garuda membuka penerbangan umrah lagi dari Surabaya. Transit di Jakarta. “Tapi setiap kali kami mendaftarkan penumpang disusul pemberitahuan batal. Itu beberapa kali,” ujar Bajuri. Pemain travel umrah, dan haji besar bergantian. Pernah dikuasai Linda Jaya. Lalu muncul meteor baru Tiga Utama. Banyak juga yang muncul, meroket, lalu menimbulkan perkara: First Travel, dan Abu Tour.
Yang tetap besar, dan masih stabil Maktour, Ebad Wisata, Shafira, dan beberapa lagi. Saya sangat terkesan dengan Tiga Utama kala itu. Terutama dengan pemiliknya: Haji Latief asal Makassar. Pejabat tinggi siapa pun, artis terkenal bidang apa pun naik hajinya lewat Tiga Utama. Pun keluarga Presiden Soeharto. Saya sempat dipinjami fasilitas kantor Tiga Utama di Makkah. Di situ kami bikin koran berbahasa Indonesia di Makkah. Kami bekerja sama dengan koran Makkah: AnNadwa.
Baca juga: Bahasa Penyandera
Salah satu redaktur kami, Anda sudah tahu: Said Aqil Siroj. Ketika beliau masih mahasiswa S2 atau S3 di Makkah. Kalau saja tahu kelak beliau jadi ketua umum PBNU yang hebat, kami tidak akan berani mem-bully begitu seringnya. Haji Latief punya banyak humor. Terutama ketika memimpin manasik (latihan apa yang harus dilakukan di Makkah dan Madinah selama naik haji). Paling sulit tentu menghafalkan doa-doa panjang. Dalam bahasa Arab pula. Padahal, zaman itu banyak naik haji belum bisa membaca doanya.
Haji Latief punya jalan keluar jenaka. “Nanti waktu mengelilingi Kakbah 7 kali, kalian pasti lupa doa-doa yang sudah diajarkan. Tidak masalah. Itu tidak menggagalkan haji. Yang penting kalian memuji saja nama Tuhan. Tuhan punya 99 nama. Sebut saja salah satunya. Ucapkan nama itu terus menerus. Misalnya: Ya Latief….Ya Latief… Ya Latief….”. Di usaha haji dan umrah, tikungan baru menghasilkan banyak jatuh terguling. Belum terlihat siapa menyalip siapa. (Dahlan Iskan)



























