indoposnews.co.id – Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dan S&P Global Ratings menggeber seminar Annual Indonesia Credit Spotlight yang edisi ketiga di Hotel Pullman Jakarta. Mengusung tema “Menyeimbangkan Tantangan Jangka Pendek dengan Tujuan Kebijakan Jangka Panjang” seminar menghadirkan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, dan Managing Director Finance Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Arief Budiman.
Kemudian, Economist dan Sovereign Analyst S&P Global Rating. Acara diawali dengan sambutan Irmawati Amran, Direktur Utama Pefindo. Arief Budiman menyampaikan visi, strategi, dan target-target Danantara. ”Lingkungan eksternal Indonesia lebih menantang. Tarif Amerika Serikat (AS) akan memukul ekonomi seperti Indonesia tetapi tidak sepenuhnya menekan perekonomian,” tegas Louis Kuijs, Chief Economist S&P Global Ratings, dalam sesi Denyut Ekonomi dan Peringkat Sovereign Indonesia rezim Prabowo-Gibran.
Dampak langsung tarif AS dikombinasi dampak tidak langsung Tiongkok perlu diwaspadai. Namun, ekonomi dengan orientasi permintaan domestik seperti Indonesia akan kurang terpengaruh. PDB Indonesia diramal tahun ini tumbuh 4,6 persen, dan edisi 2026 sekitar 4,7 persen. Inflasi bukan masalah, dan pertumbuhan ekonomi menjadi fokus ke depan. Bank Indonesia (BI) diprediksi memangkas suku bunga 100 basis points tahun ini.
Baca juga: Sudahi 2024, Pefindo Catat Penerbitan Surat Utang Korporasi Rp149,7 Triliun
Namun, koreksi mata uang bisa menjadi alasan BI memangkas lebih sedikit. Prospek pertumbuhan jangka menengah Indonesia tetap solid. ”Kami memperkirakan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 4,6 persen dalam lima tahun mendatang. Meski tingkat pertumbuhan itu, berada di kisaran menengah dibanding ekonomi negara berkembang Asia. Namun, pertumbuhan itu termasuk kuat dalam konteks global,” ulasnya.
Sementara itu, Direktur Sovereign Ratings S&P Global Ratings Andrew Wood menyoal peringkat sovereign credit Indonesia. Menurut Wood, Indonesia memasuki lingkungan ekonomi global bergejolak dengan sikap fiskal konservatif, dan tingkat utang pemerintah moderat. Perekonomian relatif berorientasi domestik akan menjadi pelindung terhadap perlambatan perdagangan global, tetapi harga komoditas lebih rendah dapat terus menjadi penghambat pendapatan fiskal selama beberapa kuartal mendatang.
”Kami memperkirakan Indonesia akan tetap berkomitmen pada defisit fiskal di bawah batas 3 persen dari PDB, meski ada beberapa tekanan ke atas saat ini dari pelemahan pendapatan negara pada paruh pertama 2025. Kami tidak memperkirakan peluncuran Danantara sebagai sovereign wealth fund akan berdampak langsung pada posisi fiskal Indonesia atau peringkat kredit negaranya,” ulas Wood.
Baca juga: Jadi Penyedia Reviu Eksternal Green Bond, Ini Ekspektasi Pefindo
Managing Director Corporate Ratings S&P Global Ratings Xavier Jean menjelaskan mengenai pendirian Danantara dan dampaknya. Jean menyebut tata kelola dan implementasi akan menentukan apakah Danantara memiliki dampak kredit pada BUMN besar Indonesia. Peran dan tanggung jawab badan tata kelola, kualitas, transparansi mekanisme tata kelola, dan keterbukaan informasi mengenai aktivitas investasi Danantara akan menjadi titik fokus untuk analisis kredit.
“Sifat interaksi antara Pemerintah, Danantara, Kementerian, dan para BUMN kemungkinan memengaruhi kemampuan, dan kemauan pemerintah untuk memberi dukungan finansial kepada sektor BUMN. Banyaknya pemangku kepentingan dari sisi publik dan swasta dapat memfasilitasi koordinasi dalam sektor milik negara Indonesia, dan memperkuat tata kelola manajemen secara keseluruhan, atau sebaliknya menyebabkan pengambilan keputusan lebih lambat jika berbagai lembaga memiliki tujuan saling bertentangan,” ucapnya.
Di sisi lain, Kepala Divisi Pemeringkatan Non-Jasa Keuangan 2 Pefondo Yogie Perdana, menyebut dalam jangka pendek, tidak ada implikasi pemeringkatan langsung. Itu mengingat terbatasnya informasi mengenai strategi, dan kebijakan Danantara terhadap BUMN. ”Namun, dalam jangka menengah hingga panjang, pemahaman lebih jelas tentang pengaruh Danantara terhadap kebijakan keuangan, dividen BUMN, dan tujuan bisnis BUMN dapat memengaruhi pemeringkatan masing-masing entitas,” tukas Yogie.
Baca juga: Pefindo Pertahankan Prospek TBS Energi Negatif
Selanjutnya, Direktur Financial Institutions Ratings S&P Global Ratings Ivan Tan mengemukakan bank-bank Indonesia memasuki periode tantangan ekonomi makro, dan ketidakpastian tarif dari posisi kuat. ”Bermodal kuat, kami bank-bank akan mempertahankan rasio modal tier-1 sebesar 22-25 persen selama satu hingga dua tahun ke depan. Kami prediksi profitabilitas, diukur dengan return on asset, akan berada di kisaran 2,2-2,5 persen. Sistem perbankan berada di peringkat paling menguntungkan dengan margin keuntungan cukup besar,” beber Ivan.
Berikutnya, Kepala Divisi Pemeringkatan Jasa Keuangan Pepindo, Danan Dito menyampaikan kondisi sektor perbankan, dan perusahaan pembiayaan cukup solid. Meski begitu, ada tekanan dari risiko pertumbuhan bisnis karena eskalasi ketidakpastian, dan volatilitas.“Kami terus memonitor dampak eskalasi perang dagang, karena pelemahan demand signifikan dapat juga melemahkan kualitas aset sektor finansial, dan dapat menyebar ke indikator-indikator lain,” tukas Dito.
Kepala Divisi Pemeringkatan Non-Jasa Keuangan 1 Pefindo Martin Pandiangan, mengaku pada tingkat korporasi, Pefindo mengantisipasi kualitas kredit akan bervariasi, dan diharap tetap stabil meski ada hambatan kuat. Seminar itu, kegiatan rutin tahunan hasil kolaborasi S&P Global Ratings dan Pefindo. Sejak 2023, S&P Global Rating menjadi pemegang saham Pefindo. (abg)