Indoposonline.NET – Restrukturisasi menjadi pintu masuk penyelamatan Garuda Indonesia (GIAA). Itu dilakukan melalui proses legal internasional, dan moratorium dalam waktu dekat.
”Kami sudah menunjuk konsultan hukum, dan keuangan untuk memulai proses tersebut. Moratorium atau standstill segera dilakukan dalam waktu dekat. Tanpa moratorium cash Garuda akan habis dalam waktu singkat,” tutur Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo, dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR, di Jakarta, Kamis (3/6).
Baca Juga: Memburuk, Pengelola Bus Karina Tekor Rp43 Miliar
Kementerian BUMN secara intensif tengah berbicara dengan manajemen termasuk pemegang saham minoritas dan Kementerian Keuangan soal proses restrukturisasi. Sedang dirumuskan pola maupun proses legal karena masalah Garuda melibatkan pemberi sewa atau lessor. Ada pemberi pinjaman dalam bentuk Global Sukuk Bond dimiliki para pemegang sukuk dari Timur Tengah.
Masalah Garuda Indonesia masa lalu terkait sewa melebihi biaya (cost) produksi wajar dan jenis pesawatnya terlalu banyak. Sebagai contoh, Garuda memiliki pesawat jenis Boeing 737, Boeing 777, Airbus A330, sampai Bombardier sehingga efisiensi menjadi bermasalah.
Baca Juga: Amankan Kontrak Rp1,65 Triliun, ABM Investama Pede
Kemudian melayani rute-rute tidak menguntungkan. Sebenarnya, pada 2019 untuk rute domestik meraih keuntungan. Namun, untuk rute penerbangan luar negeri merugi. Tentu, ini penyakit lama Garuda Indonesia. Setelah Covid-19, muncul permasalahan baru, utang awalnya di kisaran Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun.
Kondisi itu, membuat posisi Garuda secara neraca dalam posisi unsolved, karena utang dan ekuitas sudah tidak memadai untuk mendukung neraca. ”Untuk itu, apabila melakukan restrukturisasi bersifat fundamental, utang USD4,9 miliar atau setara Rp70 triliun harus menurun ke kisaran USD1-1,5 miliar, ucap Kartika. (abg)