indoposnews.co.id – Biennale Jogja XVI 2021 kembali digelar. Kali ini, rangkaian pameran dan program akan diselenggarakan di empat lokasi, yaitu Jogja National Museum (JNM), Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Museum dan Tanah Liat (MDTL), dan Indie Art House. Biennale Jogja XVI 2021 digelar pada 6 Oktober hingga 14 November 2021.
Direktur Yayasan Biennale Jogja Alia Swastika pada konferensi pers penyelenggaran Biennale Jogja XVI 2021 yang digelar secara daring pada Jumat (1/10) siang mengatakan Biennale Jogja kali ini menjadi istimewa karena menandai satu dekade Biennale Jogja seri Khatulistiwa, yang dimulai sejak 2011. Untuk itu, diselenggarakan pula pameran arsip yang menampilkan kembali serpihan artefak dan catatan tentang bagaimana Yayasan Biennale Yogyakarta tumbuh dan berkembang dalam ekosistem seni di Yogyakarta dan di kawasan Global Selatan.
“Menariknya, karya-karya seniman dari India hingga Brazil ini akan disajikan secara virtual melalui permainan minecraft. Hal ini menunjukkan bagaimana kami merespons relasi antara seni, pengetahuan, dan teknologi digital sebagai bagian dari spekulasi sejarah,” kata Alia.
Baca juga : Industri Fashion Berpeluang Jadi Obyek Wisata
Tidak kurang dari 34 seniman dan komunitas yang terlibat, di antaranya merupakan ruang dedikasi untuk seniman dan tokoh budaya; Y.B. Mangunwijaya dan Sriwati Masmundari. Sementara untuk program aktivasi terdapat kurang lebih 70 agenda, seperti Biennale Forum, Program Labuhan, Residensi, dan Resource Room. Selain itu, ada pula Bilik Negara Korea/ASEAN serta Taiwan yang mengundang para seniman dari dua wilayah tersebut.
“Jika sebelumnya berbagai program publik dapat melibatkan ratusan pengunjung, sekarang tidak bisa lagi karena kondisi pandemi,” ujar Gintani Nur Apresia Swastika, Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Sementara itu, pameran utama yang diselenggarakan di JNM mengangkat tema Roots < > Routes. Tema tersebut berangkat dari hasil riset dua kurator, Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji. Beberapa seniman partisipan antara lain Udeido Collective, Greg Semu, A Pond Is The Reverse of an Island, Radio Isolasido, juga Meta Enjelita dan Raden Kukuh Hermadi (dua seniman muda lulusan program Asana Bina Seni).
Baca juga : Mengenal Calya Siswi MAN 1 Yogya Jadi Delegasi Konferensi Virtual Internasional PBB
Kedua kurator melakukan perjalanan riset di kepulauan Indonesia bagian timur, yang memiliki corak budaya identik dengan kawasan Oseania. Masing-masing melakukan penelitian di Ambon, Maluku, dan di Jayapura, Papua serta Maumere serta Kupang, di Nusa Tenggara Timur.
Berangkat dari amatan kurator, Biennale Jogja XVI menaruh perhatian besar pada narasi-narasi mengenai lokalitas dan pengetahuan tempatan, serta dekolonisasi dan desentralisasi. Biennale Jogja XVI bekerja sama dengan empat institusi dan kolektif seni dari Jayapura, Ambon, Kupang, dan Maumere untuk membuat Program Labuhan (Docking Program) sebagai perwujudan dari gagasan desentralisasi yang diusung.
“Penyelenggaraan Biennale Jogja XVI diharapkan dapat menjadi ruang dialog antara seniman dan intelektual dari Indonesia dengan seniman dan intelektual dari Oseania. Keduanya dapat belajar dari pengalaman masing-masing sebagai masyarakat bekas terjajah yang keberadaannya sudah terlalu lama didefinisikan oleh kuasa pengetahuan Barat,” jelas kurator. (ash)
Baca juga : Kementerian PUPR Bangun Dua Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik di Yogyakarta
https://www.instagram.com/p/CUebLS3lAwq/