indoposnews.co.id – Kewarganegaraan ganda sudah diakui atau ditolerir di lebih dari 130 negara, termasuk Vietnam, Thailand, Cambodia, Filipina, dan Australia. Namun di Indonesia, kewarganegaraan ganda masih terbatas. Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, kewarganegaraan ganda hanya dapat diberikan kepada anak secara de facto memiliki dua kewarganegaraan karena lahir dari perkawinan campuran atau lahir di negara menerapkan birthright citizenship (seperti Amerika Serikat). Lagi pula, anak tersebut diwajibkan memilih satu kewarganegaraan setelah mencapai umur 18 tahun.
Kebijakan itu, masih meninggalkan beberapa persoalan bagi keluarga perkawinan campuran. Yaitu adanya pembedaan hak dengan keluarga Indonesia pada umumnya, dan kehilangan beberapa hak asasi manusia, seperti hak kewarganegaraan, hak untuk menghidupi keluarga atau mencari pekerjaan, hak kepemilikan tempat tinggal untuk dapat diwariskan kepada pasangan, dan keturunan.
Baca juga: Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria Sembuh dari COVID-19
Salah satu keraguan pemerintah menetapkan kewarganegaraan ganda soal kesetiaan atau loyalitas warga negara terhadap Indonesia. Sebetulnya, jika menilik lebih dalam, kesetiaan tidak dapat dipaksakan dengan membatasi kewarganegaraan. Dengan memperluas kesempatan untuk anggota keluarga perkawinan campuran berkontribusi kepada kedua negara asalnya, kewarganegaraan ganda dapat meningkatkan kesetiaan kepada kedua negara. Selain itu, kewarganegaraan ganda akan menciptakan peluang baru untuk kemajuan pembangunan Indonesia dengan terlibatnya seluruh anggota keluarga perkawinan campuran sebagai sumber daya manusia berkualitas di Indonesia.
Setiap orang tinggal di suatu negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara. Namun, itu tidak berarti loyalitas dalam mempertahankan kepentingan negara Indonesia harus diragukan. Pengakuan terhadap kewarganegaraan ganda dapat dipandang sebagai bagian dari upaya negara mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dan melindungi hak asasi warga negara terhadap status kewarganegaraannya.
Baca juga: Kemenperin Apresiasi Buah Tembus Ke Pasar AS
Merespons kondisi itu, Unit Kajian Kesejahteraan Sosial, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (UI) bersama Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) menggelar webinar bertajuk “Kewarganegaraan Ganda: Identitas dan Kesetiaan Kebangsaan dalam Society 5.0,” pada Sabtu, 26 Februari 2022 lalu secara virtual.
Nia Schumacher, Ketua APAB menyampaikan pihaknya tengah berupayan mendorong peruabahan atas undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan saat ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Baca juga: KAI Meminta Pemerintah Meningkatkan Keselamatan Perjalanan di Perlintasan
Pada era globalisasi saat ini, kewarganegaraan ganda menjadi hal penting. Karena itu, APAB mendorong perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI masuk Prolegnas DPR 2020-2024 menjadi prioritas pembahasan edisi 2022, dan 2023. ”Yaitu, dengan diakomodirnya usulan kewarganegaraan ganda untuk keluarga perkawinan campuran,” tutur Nia.
Webinar itu, kelanjutan dari seri pertama rangkaian webinar kewarganegaraan ganda besutan APAB dan LPPSP. Webinar mengangkat isu identitas dan kesetiaan kebangsaan dalam status kewarganegaraan ganda. Bagi keluarga perkawinan campuran, identitas kebangsaan sebagai pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) bersamaan dengan tanggung jawab kesetiaan kebangsaan.
Baca juga: 1,4 Juta Warga Jakarta Belum mengikuti Vaksinasi COVID-19
Webinar seri kedua itu, diharap menjadi langkah awal perencanaan jangka panjang optimalisasi kesejahteraan keluarga perkawinan campuran menuju Society 5.0. Webinar menghadirkan Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar FHUI dan Staf Khusus Wapres RI, Cahyo Rahadian Muzhar Direktur Jenderal AHU Kemenkumham RI, dan public figure Farah Quinn. (abg)