indoposnews.co.id – KINI tidak ada lagi kompetisi antarnabi. “Di zaman Nabi Muhammad, kompetisi antarnabi lebih kompleks. Di jazirah Arab saja, saat itu, ada tujuh nabi”. Saya asyik bertemu seorang peneliti nabi kemarin. Dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta. Nama peneliti pendek: Al Makin. Kalau toh tertulis panjang itu karena ada gelar Prof, Dr, drs, dan MA di sekitar nama itu. Ia sendiri kelahiran sebuah desa terpencil di Bojonegoro, Jatim.
Kuliahnya di McGill Montreal, Kanada dan di Heidelberg Jerman. Yakni setelah lulus S1 ilmu tafsir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Nabi pertama yang ia teliti adalah Musailamah. Ia nabi di Yamama. Nama Yamama kini dikenal sebagai kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Sebelum Muhammad menyatakan diri sebagai nabi, di Makkah, Musailamah sudah menyatakan diri sebagai nabi di Riyadh. Waktu itu sebenarnya juga ada seorang wanita menyatakan diri sebagai nabi.
Tidak jauh dari Makkah juga ada nabi Ummaiyah bin Abi Salat. Al Makin tidak bisa melakukan penelitian tentang Nabi Musailamah di Arab. Apalagi di Indonesia. Kepustakaan paling lengkap tentang nabi itu ada di Heidelberg University di Jerman. Maka Al Makin ke sana. Sekalian untuk menulis disertasi gelar doktor filsafat. Tiga tahun Al Makin di Heidelberg. Di situ tersimpan kitab suci nabi Musailamah. Namanya juga Quran. Banyak sekali surahnya: 33 bab.
Baca juga: Superirit
Waktu membaca Qurannya Musailamah itu Al Makin tertegun. Mirip sekali dengan Alquran. Maka surah-surah dalam Qurannya nabi Musailamah itu ia teliti. “Saya tidak berani menerbitkan disertasi saya dalam bahasa Indonesia. Sensitif sekali,” katanya. Al Makin tertarik pada nama Musailamah ketika membaca sejarah Nabi Muhammad. Nama Musailamah disebut. Yakni pada bab ”utusan”. Terutama ketika Nabi Muhammad bertemu dengan para kepala suku yang belum Islam.
Pertemuan itu dilakukan di masjid Madinah. Kala itu Musailamah juga datang. Ia bukan hanya nabi. Ia juga kepala suku Hanifah di timur. Muhammad ia kenal sebagai kepala suku Bani Hasyim di Makkah. Dalam sejarah itu, Muhammad tidak mengizinkan Musailamah masuk arena pertemuan. Musailamah mengirim surat ke Muhammad. Yang dikirimi surat juga membalas. Saat mengirim surat itu Musailamah berada di atas onta, tidak jauh dari masjid, sambil menunggu balasan dari Muhammad.
Setelah tidak ada kesepakatan, Musailamah lantas kirim surat penawaran: bagaimana kalau dunia ini dibagi dua wilayah kekuasaan. Muhammad berkuasa di Makkah-Madinah dan sekitarnya. Musailamah di Riyadh dan wilayah timur. Muhammad membalas surat tawaran itu: menolak. Bumi ini tidak bisa dibagi. Bumi ini untuk orang beriman. Itu membuat Al Makin tertarik meneliti Musailamah. Dari penelitian itu, Al Makin berkesimpulan pengikut Musailamah sangat besar. Ia juga seperti Muhammad.
Baca juga: Kiamat SVB
Tidak hanya pemimpin agama tapi juga kepala suku. Bahkan juga pimpinan wilayah pemerintahan. Ketika Muhammad meninggal, nabi Musailamah masih hidup. Di zaman pemerintahan Abubakar Siddiq Musailamah diperangi. Terjadilah perang Yamama. Musailamah tewas di tangan pasukan Khalid bin Walid. Tapi agama yang dibawakannya masih hidup: agama Hanif. Kelak, di zaman dinasti Muawiyah, pengikut Musailamah tidak mendapat tempat di sistem sosial. Mereka jadi kelas buruh, dan budak.
Pada 100 tahun setelah meninggalnya Muhammad inilah praktis ajaran Hanif nabi Musailamah hilang dari jazirah Arab. Selesai mendapat gelar doktor, Al Makin tidak pulang. Istrinya masih kuliah di McGill. Dia mengambil doktor bidang kerja sosial. Al Makin pilih menerima tawaran mengajar di Jerman. Yakni di Bochum University. Ia mengajar mata kuliah tentang nabi Ummaiyah bin Abi Salat yang di Taif itu. “Kitab suci Ummaiyah sampai 1000 koplet,” ujar Al Makin.
Baik Musailamah maupun Ummaiyah sama-sama punya semacam Al Fatihahnya. Beda dua nabi itu orientasi ajarannya. Musailamah lebih berorientasi ke Zooroaster. Dengan lambang tanduknya. Ummaiyah lebih berorientasi ke Roma. Roma di situ bisa diartikan Roma kini di Italia, atau Roma dalam pengertian Konstantinopel kini disebut Istanbul. “Tapi Roma juga bisa ditafsirkan sebagai Damaskus sekarang di Syria” ujar Al Makin. Setelah sang istri bergelar doktor dari McGill, Al Makin pulang.
Baca juga: Debu Neom
Tepatnya pulang ke Asia Tenggara. Ia mengajar filsafat di salah satu universitas di Singapura. Selama jadi ahli filsafat Singapura itu Al Makin melakukan penelitian tentang nabi-nabi di Nusantara. “Kita pernah punya 600 nabi,” ujar Al Makin. Itu sejak zaman penjajahan Belanda. Di Sumut pernah ada nabi Sisingamangaraja. Di Gedangan Sidoarjo juga pernah ada nabi. Pun di Brebek, Nganjuk. Yang paling belakangan adalah nabi Lia Eden dan nabi Musadiq.
Yang dua-duanya ditangkap polisi, diadili dan masuk penjara. Kedua nabi itu meninggal dalam status masih sebagai narapidana. Saat itu, Al Makin sampai tinggal di Lia Eden lama: 10 tahun. Ia jadi orang dalam di sana. Begitu masuknya Al Makin ke Lia Aden sampai lingkungan itu tidak tahu kalau Al Makin seorang peneliti nabi yang serius. Al Makin juga tinggal bersama Musadiq bertahun-tahun. Waktu keduanya di penjara Al Makin sering menengok ke penjara.
Akhirnya Al Makin diminta pulang kandang: ke UIN Sunan Kalijaga. Ia jadi dosen dan memimpin satu lembaga kajian. Kini Al Makin menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga. Tanpa pernah menjadi dekan maupun wakil rektor. Umurnya 50 tahun. Anaknya 2 orang. Sang istri dosen di UGM. Boleh dikata Al Makin ahli filsafat keberagamaan. Selama ini baru dua orang peneliti nabi Musailamah. Satunya orang Saudi: Prof Abdullah Al Askar, alm. Ada dua lagi sebenarnya, orang Jerman dan Amerika, tapi tidak mendalam.
Kini Quran-nya Musailamah maupun Ummaiyah ada di UIN Sunan Kalijaga. Tapi bani Hanifah, dan bani Hasyim dua-duanya sudah tak ada di dunia. (Dahlan Iskan)