indoposnews.co.id – Teka-teki beredarnya kabar adanya klaster di sekolah ketika mulai diberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM) akhirnya terjawab. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa kabar tersebut tidak benar.
Menkes menjelaskan bahwa setelah dilakukan PTM, pemerintah kemudian melakukan surveilans di beberapa sekolah sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan pembacaan secara luar jaringan (luring) itu. Dari surveilans yang dilakukan di DKI Jakarta dalam periode 1 hingga 21 September terhadap 22 sekolah dan pengujian 2.113 subjek dengan tes antigen ditemukan tingkat positif 3,12 persen.
Selain itu pengujian PCR pada 31 Agustus hingga 20 September 2021 terhadap 2.134 subjek yang terbagi di 24 sekolah menemukan tingkat positif 5,01 persen. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, kata Budi, pengujian antigen pada 15 hingga 25 September terhadap 3.689 subjek dari 258 sekolah menemukan tingkat positif 0,24 persen.
Sementara pengujian antigen pada 22 September di Kota Surakarta terhadap 171 subjek di satu sekolah dan di Kota Pekalongan terhadap 103 subjek di lima sekolah, menemukan tingkat positif 0,0 persen untuk masing-masing kota.
Baca Juga : 226 Sekolah di Jakarta Barat Siap Gelar PTM
“Jadi kalau banyak yang kemarin diskusi atau beredar hoaks bahwa klasternya demikian banyak, sebenarnya tidak demikian,” kata Menkes Budi, dalam konferensi pers virtual, terkait hasil rapat terbatas PPKM yang dipantau di Jakarta, Senin.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam kesempatan tersebut juga kembali meluruskan bahwa kabar 2,8 persen sekolah telah menjadi klaster COVID-19 selama PTM adalah miskonsepsi. “Beberapa miskonsepsi yang patut diluruskan, sekali lagi adalah bahwa angka 2,8 persen satuan pendidikan, walaupun itu sudah kecil, itu pun adalah data kumulatif, bukan per satu bulan. Itu semua dari seluruh masa COVID-19, bukan dari bulan terakhir di mana PTM terjadi,” kata Nadiem.
Selain itu, Nadiem menjelaskan bahwa kabar yang menyebutkan 15.000 murid dan 7.000 guru positif COVID-19 adalah berdasarkan laporan data mentah yang memiliki banyak sekali kesalahan. Salah satu contohnya, kata Nadiem, bagaimana banyak yang melaporkan jumlah kasus positif yang justru melebihi jumlah murid yang berada di sekolah-sekolah tersebut.
“Sekali lagi, kita harus berfokus pada data yang ada dan terutama data dari Kemenkes yang telah mendapatkan berbagai macam test result dan melakukan sampling,” demikian Nadiem. (mid)