indoposnews.co.id – Belum usai kasus covid-19, 12 warga Gunung Kidul yang terserang antraks. Hal tersebut dikemukakan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Dari 26 sampel yang kami kirim, hanya 12 yang positif antraks, sedangkan lainnya negatif,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul Dewi Irawaty di Gunung Kidul, Rabu, mengenai hasil pemeriksaan sampel yang dikirim ke Balai Besar Penelitian Veteriner.
dilansir dari antara, Warga terserang antraks berasal dari dua wilayah kecamatan yang masuk zona merah antraks, yakni Kecamatan Gedangsari dan Ponjong. Tujuh warga yang terserang antraks berasal dari Kecamatan Gedangsari dan lima orang lainnya berasal dari Kecamatan Ponjong.
Dewi mengatakan bahwa petugas kesehatan di puskesmas yang berada di zona merah antraks terus melakukan pemantauan untuk menemukan warga yang mengalami gejala antraks.
Baca Juga : Tersangkut Kasus Asabri, Kejagung Sita Lafayette Hotel Yogyakarta
Gejala antraks antara lain mual, pusing, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, muntah bercampur darah, feses berwarna hitam, sakit perut yang sangat hebat, dan muncul semacam borok pada kulit setelah mengkonsumsi atau mengolah daging hewan yang sakit.
“Surveilans masih terus dilakukan. Kami berharap kasus antraks tidak berkembang,” kata Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa antraks merupakan jenis penyakit zoonosis, penyakit yang menular dari hewan ke manusia.
“Pencegahan antraks tetap pada perilaku warga, agar selektif memilih daging yang segar dan pastikan dari hewan yang sehat,” katanya.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunung Kidul Retno Widyastuti mengimbau warga langsung mengubur hewan ternak seperti sapi dan kambing yang mati karena sakit untuk mencegah penularan antraks.
Penyembelihan hewan ternak yang sakit atau mati, menurut dia, berisiko menimbulkan penularan antraks.
“Hal ini menyebabkan bakteri Antraks yang berdiam di darah akan kontak dengan udara dan membentuk proteksi sehingga lebih mudah menular,” katanya, menambahkan, “Selama ini masyarakat memilih untuk memotong ternak sakit atau mati secara mendadak karena tidak ingin rugi.” (mid)