Indoposonline.NET – Yenny Wahid pantas gusar. Sebagai komisaris independen Garuda Indonesia (GIAA), Yenny tidak salah bersuara lantang. Maklum, Garuda Indonesia sudah penuh utang sejak edisi 1998 silam.
Kala itu, utang menjerat sayap burung garuda mencapai Rp4,6 triliun. Utang berdenominasi rupiah sejumlah Rp825 miliar, dan dolar Amerika Serikat (USD) setara USD77 juta dengan kurs Rp10 ribu waktu itu. Utang itu dari pembelian pesawat melalui lembaga keuangan internasional dalam bentuk dolar.
Baca Juga: Pertama, XL Axiata Sajikan Layanan Konvergensi
Sejumlah armada pesawat dibeli antara lain Boeing 737 classic, Boeing 735, 733, dan 734. Utang Garuda juga terus bertambah karena perseroan mulai berani membeli pesawat dengan skema mencicil dalam bentuk dolar karena bisa ditalangi lembaga keuangan dunia. Langkah itu juga dilakukan untuk membeli mesin-mesin pesawat.
Lalu, sejak Orde Baru berakhir, pemerintah tidak berkenan menyuntik Garuda dalam bentuk uang. Garuda hanya dipersenjatai letter government guarantee. ”Hingga saat ini, Garuda berpetualang ngutang dan nyicil untuk pengembangan armada. Konyolnya, ekspansi dilakukan ugal-ugalan, tidak sesuai ratio cash in flow,” tutur pengamat penerbangan Arista Atmadjati.
Baca Juga: Buruh Giant Terkatung, KSPI Tuntut Pemerintah Tanggung Jawab
Efeknya, saat ini utang Garuda menggunung hingga Rp70 triliun. Pemerintah gerah dan memilih opsi penyelamatan dengan restrukturisasi. Melalui, Kementerian BUMN, pemerintah mencuatkan opsi menutup emiten aviasi tersebut.
Opsi atas kondisi Garuda hanya ada dua. Menyelamatkan dianggap sebagai pilihan emosional atau mematikan sebagai opsi logis (rasional). Kalau menyelamatkan Garuda, pemerintah harus memelihara Garuda dengan cara apa pun, meski menyuapi dalam jangka panjang.
Baca Juga: Indeks Meroket 1,69 Persen, Asing Banyak Lempar Saham Ini
Pilihan mematikan bisa dilakukan karena sulit mengurai utang Garuda. Keuangan pemerintah dibebani sejumlah persoalan dan mesti menyelesaikan sejumlah program pembangunan. Pandemi menghancurkan industri penerbangan hingga ke titik terendah. Dan, masih banyak BUMN menderita merugi.
Pada 2019, Garuda mengantongi laba USD19 juta. Itu menyusul efisiensi ketat alias pengurangan biaya berbagai sektor. Garuda bisa diselamatkan dengan merombak habis jajaran manajemen. Mulai mengganti jajaran direksi, komisaris, hingga merampingkan organisasi Garuda. ”Asal jangan salah pilih board of directors (BOD),” ucap Arista. (abg)